Superiority complex sering terlihat dalam kehidupan sosial masyarakat.
Individu tertentu merasa dirinya lebih unggul dibandingkan orang lain.
Agama mengajarkan kesetaraan manusia di mata Tuhan.
Namun, dalam kenyataan, banyak orang memandang dirinya lebih tinggi dari sesamanya.
Wajah Superiority Complex
Superiority complex adalah luka jiwa yang menyamar sebagai keunggulan.
Ini muncul ketika seseorang merasa lebih baik dalam berbagai aspek, meski hanya menutupi rasa rendah diri.
Dalam komunikasi, mereka sulit mendengar, meremehkan pendapat, dan menyalahkan orang lain.
Individu ini selalu merasa benar dan lebih tinggi.
Alaydrus (2020) menyebutnya sebagai gangguan mental yang menghantui banyak jiwa.
Bayang-Bayang Feodal dan Superioritas
Superiority complex sering melingkupi individu dengan status sosial atau jabatan tertentu di Indonesia.
Fenomena ini bukan sekadar anomali, tetapi hadir menyeluruh, mencerminkan pola lama yang sulit terkikis.
Budaya feodal mewariskan pola pikir superior dalam organisasi pemerintah.
Baca Juga: Reformasi Gaji ASN, Memicu Pertanyaan tentang Kesejahteraan
Struktur hierarki yang kaku menciptakan otoritarianisme dan penghormatan berlebihan terhadap jabatan.
Pola ini merembes ke cara individu berinteraksi, baik di kantor maupun saat melayani masyarakat. Contoh nyata terlihat saat pejabat marah karena tidak diperlakukan istimewa atau enggan menerima masukan dari publik.
Slogan seperti pelayanan prima, berakhlak, dan presisi telah digaungkan untuk perubahan.
Kampanye reformasi birokrasi juga telah digalakkan.
Namun, sikap superiority complex masih mendominasi, melebihi jumlah individu yang sungguh-sungguh berusaha berubah.
Masyarakat dan Cermin Superioritas
Superiority complex tumbuh dari perlakuan masyarakat yang memicunya.
Budaya feodal tidak hanya membayangi penyelenggara negara, tetapi juga mengakar di kalangan masyarakat.
Masyarakat sering menempatkan individu berpangkat pada singgasana istimewa.
Sikap menjilat dan pujian berlebihan hanya menambah angkuh mereka.
Ada pula yang patuh karena takut atau merasa rendah.
Semua ini melahirkan pribadi-pribadi yang merasa unggul, meski hanya menyembunyikan luka di balik topeng superioritas.
Oleh karena itu, masyarakat perlu bersikap tegas dan berani menghadapi individu yang menyalahgunakan status atau jabatan.
Budaya inferioritas dan perilaku menjilat sebaiknya dihentikan, mengingat dampaknya yang merugikan.
Selain itu, masyarakat perlu mencerdaskan diri agar tidak mudah terintimidasi oleh sikap superior yang sebenarnya hanya kedok untuk menutupi kelemahan.
Sumber:
Alaydrus, A. (2020). A Study of Superiority Complex in Chris Gardner’s The Pursuit of Happyness. LENTERA: Journal of Gender and Children Studies, 2(1).
1 thought on “Warisan Feodal: Akar Superiority complex di Indonesia”