Warganet cocok dengan istilah “spill the tea.” Apalagi sampai mengungkap persoalan mafia kasus di peradilan Indonesia.
Istilah ini menggambarkan pengungkap rahasia melalui gosip di media sosial.
Meskipun mungkin tidak sepenuhnya akurat, begitulah cara mereka beroperasi.
Andai warganet tidak memperbincangkan kasus Ronald Tannur, mungkin mafia kasus masih bersantai dengan secangkir kopi.
Kasus Ronald Tannur
Pada Oktober 2023, Ronald Tannur terlibat cekcok dengan kekasihnya, Dini Sera, di Blackhole KTV.
Dalam kemarahan, Ronald menendang kaki Dini dan memukul kepalanya dengan botol tequila.
Dia meninggalkan Dini terjatuh di area parkir.
Dalam rekonstruksi kejadian, Dini bersandar di pintu mobil Ronald sebelum dilindas dan terseret beberapa meter.
Setelah insiden itu, Ronald membawa Dini yang kritis ke apartemennya.
Dia berusaha memberikan bantuan pernapasan, namun Dini tak kunjung membaik.
Baca Juga:
Dampak Ekonomi Penemuan Uang Rp 920 Miliar di Rumah Eks Pejabat MA
Korupsi Rp 920 Miliar di Rumah Mantan Pejabat Mahkamah Agung: Bukti Celah Pengawasan Hukum
Ronald pun membawanya ke rumah sakit, di mana Dini menghembuskan napas terakhirnya.
Insiden ini membawa Ronald ke pengadilan, namun pada Juli 2024, dia divonis bebas.
Majelis hakim, dipimpin Erintuah Damanik, menyatakan Ronald tak terbukti melakukan pembunuhan atau penganiayaan.
Mereka berpendapat, kematian Dini disebabkan oleh penyakit lain, bukan luka akibat penganiayaan.
Vonis ini membuat warganet marah. Mereka mengulas profil hakim, dan hujatan memenuhi dunia maya.
Kasasi untuk Ronald Tannur
Ronald, anak mantan Anggota DPR RI Edward Tannur, belum bisa bernapas lega.
Jaksa mengajukan kasasi, dan Mahkamah Agung mengabulkannya.
Pada 22 Oktober 2024, majelis hakim yang dipimpin Soesilo memutuskan Ronald terbukti melakukan penganiayaan hingga menyebabkan kematian Dini.
Dia dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Namun, publik tetap tidak puas, termasuk Kepala Kajati Jatim, Mia Amiati, yang kecewa dengan putusan tersebut.
Petaka bagi Tiga Hakim PN Surabaya
Vonis bebas untuk Ronald ternyata membawa petaka bagi tiga hakim: Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
Pada 23 Oktober 2024, mereka ditangkap.
Penangkapan dilakukan di enam lokasi, termasuk apartemen dan kantor pengacara Ronald, Lisa Rachmat.
Pakar hukum menyatakan fakta dan kesaksian di persidangan seharusnya menunjukkan penyebab kematian Dini.
Namun, semua bukti yang memberatkan terdakwa diabaikan oleh hakim.
Jaringan Mafia Kasus
Kasus ini kemudian berkembang. Nama mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, terseret.
Dia ditangkap pada 20 Oktober 2024 di Bali, diduga terlibat dalam pemufakatan jahat untuk menyuap hakim.
Lisa, pengacara Ronald, menyiapkan dana Rp 5 miliar untuk hakim agung dan Rp 1 miliar untuk Zarof.
Uang itu harus ditukar menjadi mata uang asing di salah satu money changer.
Lisa menukarkan rupiah dan mengantarkan uang itu ke rumah Zarof.
Zarof, yang dikenal sebagai pemain lama, diduga sering menerima gratifikasi saat menjabat di Mahkamah Agung.
Penemuan di rumahnya mencengangkan: uang tunai mencapai Rp 920 miliar dan logam mulia sekitar 51 kilogram.
Kesimpulan
Kasus Ronald Tannur adalah cerminan dari masalah lebih besar dalam sistem peradilan.
Dari reaksi publik hingga praktik makelar kasus, cerita ini menuntut perhatian kita akan keadilan yang sejati.
Mari kita nantikan perkembangan selanjutnya.