Penyidik Kejaksaan Agung tak menyangka menemukan uang tunai Rp 920 miliar lebih di rumah mantan pejabat Mahkamah Agung (MA).
Mantan pejabat MA berinisial ZR itu diduga berperan sebagai perantara kasus vonis bebas Ronald Tannur.
ZR sebelumnya menjabat sebagai Kepala Badan Diklat Hukum dan Peradilan MA.
Dia ditangkap di Bali pada Kamis (24/10/2024).
Penangkapan itu atas dugaan tindak pidana korupsi dengan melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan suap.
Ada lima aspek hukum yang dapat ditinjau dari kasus ini.
1. Hukum Pidana: Tindak Pidana Korupsi
UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 20 Tahun 2001 mengatur korupsi sebagai tindak pidana berat.
Tindakan menimbun uang dalam jumlah besar dan menyalahgunakan posisi publik mengindikasikan pelanggaran serius.
ZR bisa saja dikenakan pasal terkait gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang.
Penimbunan ini berdampak luas, terutama dalam memulihkan kerugian negara serta efek jera.
Teori keadilan retributif sebagaimana ditegaskan dalam Principles of Cirminal Law (Ashworth &Horder,2013) menganggap sanksi berat diperlukan untuk menekan perilaku serupa di masa depan.
2. Hukum Pencucian Uang
UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengatur pencucian uang sebagai upaya menyamarkan asal-usul harta yang diperoleh melalui kejahatan.
Walker dalam Modeling the Economics of Money Laundering menyoroti pentingnya sistem kontrol dalam perbankan formal sebagai penangkal penyimpangan finansial seperti pencucian uang.
Kasus ini terkait mantan pejabat Mahkamah Agung ini menunjukkan lemahnya kontrol pengawasan keuangan.
Dalam hal ini, PPATK dapat dilibatkan untuk melacak asal dana tersebut demi menjaga stabilitas ekonomi dan keadilan hukum.
3. Integritas Lembaga Peradilan dan Hukum Tata Negara
Integritas sistem hukum di Indonesia merupakan landasan dalam menjaga kepercayaan publik
Fukuyama dalam State-Building: Governance and World Order in the 21st Century menyebut lembaga yang bersih menjadi dasar bagi kepercayaan publik terhadap hukum.
Tindakan korupsi di lembaga peradilan berdampak langsung pada persepsi masyarakat terhadap independensi dan netralitas sistem hukum.
Kasus penemuan uang ini menegaskan kebutuhan untuk memperkuat pengawasan internal dalam lembaga peradilan agar mampu menindak pejabat nakal.
4. Perspektif Kriminologi: Motif dan Peluang dalam Sistem Hukum
Cressey (1973) menyebutkan penyalahgunaan kekuasaan terjadi karena adanya celah dalam pengawasan internal.
Pada konteks ini, pejabat Mahkamah Agung itu memiliki akses terhadap keputusan sensitif dan berpeluang memanfaatkannya jika sistem pengawasan tidak ketat.
Perspektif ini mendukung penguatan regulasi yang mengatur kewenangan pejabat publik dan meningkatkan transparansi melalui audit rutin serta pelibatan badan independen untuk mengawasi aktivitas peradilan.
5. Etika Hukum: Moralitas dan Kepercayaan Publik
Etika hukum memandang kasus ini dari perspektif moralitas pejabat publik dalam menjaga integritas
Weber dalam Economy and Society menegaskan legitimasi lembaga hukum bergantung pada integritas dan kejujuran yang dirasakan masyarakat.
Saat seorang pejabat hukum melakukan tindakan korupsi, ia merusak nilai moral dasar yang menopang kepercayaan publik terhadap hukum
Dari segi etika, integritas menjadi nilai utama yang harus ditegakkan di seluruh level kelembagaan untuk menciptakan rasa keadilan di masyarakat.
Sumber:
- Ashworth, A., & Horder, J. (2013). Principles of Criminal Law. Oxford University Press.
- Cressey, D. R. (1973). Other People’s Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlement. Glencoe Press.
- Fukuyama, F. (2004). State-Building: Governance and World Order in the 21st Century. Cornell University Press.
- Walker, J. (1999). Modeling the Economics of Money Laundering. International Criminal Justice Review, 9(1), 1-23.
- Weber, M. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. University of California Press.