Site icon

Pindar sebagai Simbol Kepercayaan dalam Budaya Digital

OJK menggaungkan nama Pindar sebagai pembeda dengan fintech tak berizin

OJK menggaungkan nama Pindar sebagai pembeda dengan fintech tak berizin

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini memperkenalkan nama “Pindar” untuk menggantikan label lama dalam layanan fintech lending yang terdaftar dan berizin.

Nama ini, lebih dari sekadar label administratif.

Pindar adalah simbol kepercayaan yang hadir di tengah derasnya arus pinjaman online yang sering kali menyisakan kecurigaan.

Seperti yang dikatakan Barthes (1997) dalam kajian semiotika, nama adalah tanda yang memiliki makna.

Nama Pindar diharapkan menjadi penanda yang tegas, membedakan antara layanan sah yang berada di bawah pengawasan OJK dan layanan pinjaman online ilegal yang tidak bertanggung jawab.

Baca Juga: Pindar dan Rahasia Keamanan Fintech

Dengan munculnya nama ini, OJK berusaha menciptakan identitas yang dapat dikenali oleh masyarakat sebagai simbol keamanan dan transparansi.

Di dunia yang semakin digital ini, nama atau simbol bukan hanya sekadar penanda, tetapi juga wujud kepercayaan.

Seperti Giddens (1990) menjelaskan, dalam masyarakat modern, kepercayaan adalah dasar dari setiap interaksi sosial yang sehat.

Nama Pindar menjadi harapan baru bahwa layanan yang membawa nama ini aman, terdaftar, dan terhindar dari praktik-praktik ilegal yang merugikan masyarakat.

Membedakan yang Sah dari yang Ilegal

Pinjaman online ilegal masih menjadi momok yang meresahkan banyak orang.

Di tengah kemajuan teknologi, masyarakat terkadang sulit membedakan antara layanan fintech lending yang sah dan yang ilegal.

Di sinilah nama Pindar berperan sebagai simbol yang membedakan.

Dengan memberikan penanda yang jelas, OJK berharap agar masyarakat bisa dengan mudah mengenali layanan yang terdaftar dan diawasi oleh lembaga keuangan resmi.

Namun, kehadiran simbol nama ini bukan tanpa tantangan.

Meskipun Pindar berfungsi untuk menciptakan pemahaman kolektif tentang apa yang sah dan yang ilegal, tidak sedikit dari masyarakat yang belum sepenuhnya paham akan perbedaan ini.

Foucault (1972) menyampaikan perubahan simbol tidak selalu mampu mengubah struktur kekuasaan yang ada.

Nama baru ini bisa saja menjadi penanda yang mudah dikenali, tetapi pemahaman mendalam tentang perbedaan layanan sah dan ilegal masih memerlukan edukasi yang lebih luas.

Kritik terhadap Pendekatan Simbolis Pindar

Langkah OJK untuk memperkenalkan nama baru ini harus diapresiasi sebagai upaya memperbaiki citra industri fintech lending.

Namun, kita tak bisa hanya terjebak pada simbol atau label. Pemberian nama Pindar mungkin saja membantu menciptakan kesan aman dan terpercaya, tetapi jika hanya berhenti di sana, dampaknya mungkin tidak akan maksimal.

Stiglitz (2002) mengingatkan bahwa perubahan simbol atau kebijakan administratif saja tidak cukup untuk mengatasi ketimpangan yang ada dalam industri.

Kredit bermasalah yang masih tercatat di sektor ini, meskipun sedikit menurun, menunjukkan bahwa ada masalah struktural yang lebih dalam yang belum terpecahkan.

Pengawasan yang ketat oleh OJK memang diperlukan, tetapi itu harus diimbangi dengan reformasi yang lebih komprehensif dalam manajemen risiko dan tata kelola yang baik.

Selain itu, pendekatan simbolis ini juga tidak mengatasi akar masalah ketidakseimbangan informasi dan penyalahgunaan oleh penyelenggara yang tidak bertanggung jawab.

Bourdieu (1990) dalam teori modal sosialnya menunjukkan bahwa struktur kekuasaan yang ada dalam suatu industri seringkali sulit diubah hanya dengan regulasi atau simbol.

Meskipun nama Pindar menciptakan identitas yang jelas, itu tidak cukup untuk menjamin bahwa semua penyelenggara fintech lending akan bertindak dengan integritas.

Membangun Kepercayaan Melalui Tata Kelola yang Tepat

Nama Pindar memang diharapkan mampu menciptakan kepercayaan di mata masyarakat.

Luhmann (2000) menyebutkan perubahan simbol atau label akan efektif jika diimbangi dengan pemahaman yang luas dari masyarakat mengenai makna di balik simbol tersebut.

Untuk itu, OJK perlu melengkapi kebijakan ini dengan upaya edukasi yang lebih dalam kepada masyarakat tentang perbedaan antara fintech lending yang sah dan ilegal, serta bagaimana cara mengenali risiko yang ada.

Sementara itu, OJK juga harus berfokus pada penguatan regulasi yang lebih ketat dan mekanisme pengawasan yang lebih transparan.

Williamson (1985) menyatakan bahwa untuk menciptakan keberlanjutan dalam industri apa pun, selain simbol atau label, perlu adanya pengawasan yang mencakup aspek struktural.

OJK tidak hanya perlu mengawasi penyelenggara yang sudah terdaftar, tetapi juga memperketat penegakan hukum terhadap pinjaman online ilegal yang merugikan banyak pihak.

Sumber:

Exit mobile version