23 December 2024

Setiap fakta menyimpan pelajaran, setiap peristiwa membuka cakrawala. DosenVirtual.com

Beranda » Blog » Peran Hadis dalam Hukum Islam dan Tantangan Keotentikannya

Peran Hadis dalam Hukum Islam dan Tantangan Keotentikannya

Elgi Kurniawan, Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi

Elgi Kurniawan, Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sjech M Djamil Djambek Bukittinggi

Hadis, sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an, memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam.

Hadis adalah segala yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan beliau terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat.

Sejak zaman sahabat hingga kini,  hadis selalu dipertimbangkan sebagai landasan hukum utama dalam Islam.

Namun, perjalanan panjang sabda nabi ini selalu diiringi dengan pertanyaan besar: Apakah tetap terjaga keotentikannya?

Terlebih, ada larangan dari Nabi untuk menuliskan ucapan dan perbuatannya, sebagaimana sabda beliau:

“لا تكتبوا عني غير القرآن فليمحه”
“Jangan menulis apapun dari aku selain Al-Qur’an, jika tidak maka hapuslah.”

Pernyataan tersebut menimbulkan kebingungan dan ketegangan di kalangan umat Islam.

Meskipun demikian, pada masa Abbasiyah, terutama pada masa Imam Madzhab, dinamika mencapai puncaknya.

Banyak kelompok yang menolak ini sebagai sumber hukum, hanya mengakui Al-Qur’an sebagai satu-satunya hukum Islam.

Di sinilah perjuangan ulama Ahlus Sunnah, seperti Imam Syafii, yang dikenal sebagai Nashir al-Sunnah, sangat penting.

Baca Juga: Panduan Islam Menghadapi Hoaks di Era Digital

Imam Syafii selalu menegaskan bahwa wahyu, termasuk sabda nabi Muhammad SAW, merupakan sumber hukum yang tidak bisa dipisahkan dari Al-Qur’an.

Beliau berargumen bahwa sabda nabi memegang posisi sangat spesial dalam penetapan hukum Islam.

Imam Syafii juga mampu membantah berbagai argumen yang dilontarkan oleh kelompok-kelompok yang ingkar terhadap sunnah pada masa itu.

Ada tiga kelompok utama yang menolak sunnah pada masa itu:

  1. Golongan yang menolak sunnah secara keseluruhan
  2. Golongan yang hanya menerima sunnah yang sejalan dengan Al-Qur’an
  3. Golongan yang hanya menerima sunnah mutawatir dan menolak hadis ahad

Pada akhirnya, setelah berbagai argumen dipatahkan, banyak di antara kelompok ingkar sunnah yang kembali menerima sunnah sebagai sumber hukum yang sah.

Namun, gerakan penolakan sunnah ini tidak berhenti sampai pada masa Imam Syafii saja.

Pada awal abad ke-19, terutama di Mesir, muncul kembali sejumlah tokoh yang menolak hadis secara total, seperti Ghullam Ahmad Parvez dari India, Taufiq Ash-Shidiqi, dan Rasyad Khalifa dari Mesir.

Peran Hadis dalam Menjelaskan Al-Qur’an

Meskipun ada argumen-argumen yang mendukung penolakan sabda nabi, pemahaman mendalam terhadap kedudukannya dalam Islam menunjukkan bahwa argumen-argumen tersebut tidak sepenuhnya tepat.

Al-Qur’an memanglah kitab yang sempurna, namun banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum.

Di sinilah hadis berperan sebagai penjelas dan perinci dari teks-teks Al-Qur’an yang umum tersebut.

Hadis memberikan konteks yang diperlukan agar kita dapat mengaplikasikan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai contoh, banyak ayat Al-Qur’an yang memberikan petunjuk umum, namun tidak menjelaskan secara rinci bagaimana cara melaksanakan petunjuk tersebut.

Ini menjadi penjelas dan memberi contoh konkret bagaimana cara Nabi Muhammad SAW menjalankan wahyu-wahyu tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Tanpa hadis, umat Islam akan kesulitan memahami konteks praktis dari ajaran Al-Qur’an.

Argumen Kelompok Ingkar Sunnah

Kelompok yang menolak sunnah, meskipun memiliki argumen yang tampaknya kuat, tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa hadis tetap memegang peranan yang penting.

Beberapa argumen utama yang mereka kemukakan antara lain:

  1. Kesempurnaan Al-Qur’an: Al-Qur’an telah mencakup segala hal, sehingga tidak memerlukan sumber lain.
  2. Kebenaran Al-Qur’an vs Hadis: Kebenaran Al-Qur’an bersifat qat’i (pasti), sedangkan hadis bersifat zhanni (dugaan), sehingga apabila terjadi kontradiksi, hadis tidak dapat diterima.
  3. Larangan Nabi untuk menulis hadis: Rasulullah SAW pernah melarang sahabat menulis selain Al-Qur’an untuk menghindari kekeliruan dalam penulisan wahyu.
  4. Jarak waktu antara masa Nabi dan pengumpulan hadis: Jauhnya masa pengumpulan hadis dengan zaman Nabi dianggap membuka celah pemalsuan.

Namun, dengan pemahaman yang lebih dalam, semua argumen ini dapat dipatahkan.

Meski Al-Qur’an adalah kitab yang sempurna, ia tetap membutuhkan penjelasan melalui sabda nabi untuk menjelaskan ayat-ayat yang lebih umum.

Misalnya, ayat tentang salat yang hanya menyebutkan untuk salat lima kali sehari tanpa menyebutkan rinciannya.

Ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW memberikan penjelasan tentang bagaimana cara melaksanakan salat yang benar.

Pelarangan Nabi terhadap penulisan ucapan dan perbuatannya bukanlah untuk menafikan keberadaan hadis, tetapi lebih untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an selama wahyu masih turun.

Setelah wahyu selesai, para sahabat diberi otoritas untuk menuliskannya dengan pengawasan yang ketat agar keotentikannya terjaga.

Hadis tetap menjadi sumber hukum yang tak tergantikan dalam Islam.

Meskipun ada tantangan dan penolakan terhadap keberadaannya, terutama di masa-masa tertentu, hadis tetap menjadi penjelas dan perinci ajaran Al-Qur’an.

Melalui perjuangan para ulama seperti Imam Syafii dan analisis yang mendalam, kita dapat memahami bahwa sagala perbuatan dan ucapan nabi memainkan peranan penting dalam memastikan kejelasan dan pelaksanaan ajaran Islam.

Dengan demikian, hadis harus terus dipelajari dan dihargai sebagai sumber hukum yang sah, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.