Kebangkrutan PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex mengguncang dunia bisnis Indonesia.
Di balik kisah ini, terdapat rangkaian angka dan data yang bisa mengungkap lebih dalam mengapa raksasa tekstil ini akhirnya jatuh.
Statistik menjadi alat penting untuk meneliti sebab-akibat dalam kasus seperti ini.
Statistik juga bisa membantu memahami dampak kebangkrutan Sritex terhadap masyarakat dan ekonomi lokal.
Analisis Statistik Risiko Keuangan
Setiap bisnis menghadapi risiko keuangan. Risiko ini semakin besar bagi perusahaan yang memiliki utang besar, seperti Sritex.
Salah satu metode statistik yang digunakan dalam dunia keuangan adalah Value at Risk atau VaR (Jorion, 2007).
VaR membantu memperkirakan potensi kerugian maksimum suatu perusahaan dalam kondisi tertentu.
Dengan menerapkan model ini, Sritex bisa memprediksi seberapa besar risiko keuangannya jika kondisi pasar berubah.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Sritex dilaporkan terus mengalami kenaikan utang.
Seiring dengan peningkatan utang ini, risiko kebangkrutan pun meningkat.
Analisis VaR bisa membantu manajemen melihat sinyal ini sejak awal.
Sayangnya, tampaknya Sritex tidak cukup cepat mengambil langkah mitigasi untuk mengurangi risikonya.
Tren Keuangan dan Analisis Time Series
Selain melihat risiko, kita bisa menggunakan time series analysis untuk memahami pola finansial Sritex dari waktu ke waktu.
Analisis ini melacak perubahan tren pendapatan, profitabilitas, dan rasio utang setiap tahun.
Dengan menggunakan data historis, analisis ini bisa menyoroti tanda-tanda peringatan dini, seperti pola penurunan laba atau kenaikan beban utang yang signifikan.
Ketika perusahaan seperti Sritex mengalami peningkatan utang tanpa diimbangi peningkatan profitabilitas, itu menjadi alarm bahwa sesuatu tidak berjalan baik.
Model statistik seperti regresi linear dapat menunjukkan keterkaitan antara pertumbuhan utang dan penurunan profitabilitas.
Data ini memperlihatkan bahwa, secara statistik, kebangkrutan adalah hasil dari kombinasi kondisi finansial yang terus memburuk.
Prediksi Kebangkrutan dengan Altman Z-Score
Altman Z-Score adalah alat statistik populer untuk memprediksi kebangkrutan.
Model ini menghitung probabilitas kebangkrutan berdasarkan beberapa variabel keuangan seperti likuiditas, profitabilitas, dan rasio utang (Altman, 1968).
Altman Z-Score memberi skor tertentu untuk menunjukkan risiko kebangkrutan: semakin rendah skor, semakin tinggi risikonya.
Baca Juga:
Kebangkrutan Sritex: Lebih dari Sekadar Angka
Jika Sritex menerapkan Altman Z-Score sejak awal, perusahaan bisa memahami lebih cepat bahwa risiko kebangkrutan semakin mendekat.
Dengan skor Z yang rendah, seharusnya sudah ada langkah-langkah preventif untuk mengurangi ketergantungan pada utang dan meningkatkan likuiditas perusahaan.
Sayangnya, tampaknya langkah ini tidak dilakukan secara optimal, sehingga Sritex semakin terjerat dalam kondisi finansial yang sulit.
Dampak Sosial dan Ekonomi: Peran Statistik dalam Prediksi Dampak Kebangkrutan Sritex
Kebangkrutan Sritex tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga pada masyarakat yang mengandalkan perusahaan ini sebagai sumber penghidupan.
Dengan data statistik, kita bisa memprediksi seberapa besar dampak kebangkrutan terhadap ekonomi lokal.
Regression analysis atau econometric modeling digunakan untuk mengukur efeknya pada variabel ekonomi, seperti pengeluaran konsumen dan tingkat pengangguran (Greene, 2008).
Di kota tempat Sritex menjadi sumber ekonomi utama, kebangkrutan berarti peningkatan pengangguran yang bisa memengaruhi daya beli masyarakat.
Dalam beberapa kasus, pengangguran juga bisa meningkatkan angka kemiskinan.
Statistik memungkinkan kita memperkirakan berapa banyak orang yang terdampak secara langsung dan tidak langsung.
Analisis ini menunjukkan bahwa kebangkrutan perusahaan besar seperti Sritex tidak hanya masalah perusahaan, tetapi juga masalah sosial dan ekonomi yang lebih luas.
Efektivitas Kebijakan Publik dan Bantuan Pemerintah
Setelah kebangkrutan, pemerintah sering kali mencoba membantu melalui program pelatihan atau bantuan finansial.
Untuk menilai efektivitas program ini, statistik kembali berperan penting.
Metode difference-in-differences atau propensity score matching bisa digunakan untuk membandingkan pekerja yang menerima bantuan dengan yang tidak.
Dengan begitu, kita bisa melihat apakah bantuan pemerintah benar-benar membantu masyarakat yang terdampak.
Statistik ini bisa menunjukkan apakah program pelatihan berhasil mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan mantan karyawan.
Jika tidak efektif, data statistik dapat memberikan masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan yang ada, sehingga benar-benar dapat mendukung mantan karyawan Sritex kembali ke dunia kerja.
Persepsi Publik dan Statistik Deskriptif soal Kebangkrutan Sritex
Persepsi publik terhadap kebangkrutan Sritex juga bisa diukur melalui survei.
Statistik deskriptif membantu kita memahami bagaimana masyarakat merasakan situasi ini.
Survei ini bisa mengungkap tingkat kepuasan terhadap kebijakan pemerintah, serta tingkat kecemasan masyarakat yang terdampak.
Dari sini, pemerintah dan perusahaan bisa mengetahui apa yang perlu diperbaiki dalam menghadapi kasus serupa di masa depan.
Penutup
Kebangkrutan Sritex bukan hanya tentang laporan keuangan yang merah.
Ia adalah refleksi dari data dan tren yang bisa diidentifikasi lebih awal melalui analisis statistik.
Dengan mengamati angka dan pola, kebangkrutan sebenarnya bisa diprediksi dan, mungkin, dicegah.
Statistik menjadi panduan ilmiah yang penting untuk memahami fenomena ini dan merencanakan langkah ke depan.
Sumber:
- Altman, E. I. (1968). Financial Ratios, Discriminant Analysis and the Prediction of Corporate Bankruptcy. The Journal of Finance, 23(4), 589-609.
- Greene, W. H. (2008). Econometric Analysis. Pearson Education.
- Jorion, P. (2007). Value at Risk: The New Benchmark for Managing Financial Risk. McGraw-Hill
Penulis:
Wikasanti Dwi Rahayu merupakan dosen statistik di Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M. Djamil Djambek.
More Stories
Mencapai Pertumbuhan Ekonomi 8% Melalui Teknologi dan Kebijakan
Mengapa Masyarakat Makin Jauh dari Partai Politik?
Da’i dalam Politik Menghadirkan Dakwah atau Ambisi?