23 December 2024

Setiap fakta menyimpan pelajaran, setiap peristiwa membuka cakrawala. DosenVirtual.com

Beranda » Blog » Ibu Bekerja: Bangga yang Tumbuh, Rindu yang Tak Pernah Luruh

Ibu Bekerja: Bangga yang Tumbuh, Rindu yang Tak Pernah Luruh

Ilustrasi Ibu Bekerja

Ilustrasi Ibu Bekerja

Ketika seorang ibu memilih untuk bekerja, keputusan itu tak hanya menjadi ceritanya sendiri.

Ada anak-anak yang turut merasakan setiap pilihan itu, dengan perasaan yang tak kalah rumit.

Mereka menyimpan bangga, sekaligus kehilangan.

Mereka berusaha mengerti, meski kadang bingung.

Para psikolog menemukan bahwa perasaan anak terhadap ibu yang bekerja tergantung pada usia mereka, intensitas kehadiran ibu, dan kualitas waktu bersama (Lamb, 2004).

Bagi anak-anak, terutama yang masih kecil, ibu adalah sosok yang harus ada.

John Bowlby, lewat teorinya tentang keterikatan, menyebutkan bahwa di masa awal hidup anak, kehadiran ibu adalah penopang rasa aman.

Ketika ibu bekerja, mungkin ada kekosongan yang dirasakan.

Anak merasa rindu, dan terkadang khawatir. Ketidakhadiran ini sering kali meninggalkan celah dalam kehidupan emosi mereka (Bowlby, 1969).

Antara Kebanggaan dan Kerinduan

Namun, di sisi lain, anak-anak juga sering merasa bangga.

Mereka melihat ibu mereka sebagai sosok kuat, berdiri mandiri di dunia yang luas.

Sosok ibu yang bekerja menjadi inspirasi bagi anak-anak yang lebih besar.

Mereka melihat kekuatan, keteguhan, dan keberanian.

Menurut penelitian Bianchi (2000), anak-anak dari ibu yang bekerja cenderung punya pandangan lebih luas tentang peran perempuan.

Mereka menganggap perempuan sama mampu, sama pentingnya di dunia luar, sebagaimana ibu mereka di rumah.

Namun, kebanggaan ini tak menghapus kerinduan.

Anak-anak tetap berharap kehadiran ibu.

Studi oleh Zaslow dan Hayes (1986) menemukan bahwa meskipun mereka bangga, mereka tetap mendambakan kehangatan dan perhatian ibu di rumah.

Kehilangan ini adalah nyata, terlukis di wajah mereka ketika melihat ibu pergi di pagi hari.

Pandangan Islam tentang Ibu yang Bekerja

Islam melihat peran ibu dengan penuh hormat dan kasih.

Allah SWT berfirman:

Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.

Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya.

Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya.

Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya.

Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut.

Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah:233)

Ayat ini menunjukkan besarnya peran ibu dalam tahun-tahun awal kehidupan anak.

Namun, Islam tidak melarang perempuan bekerja, selama keluarga tetap menjadi prioritas.

Islam mengajarkan keseimbangan.

Rasulullah SAW bersabda:

Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.

Laki-laki adalah pemimpin di keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya.

Perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Pelayan adalah pemimpin atas harta majikannya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Maka setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (Sahih al-Bukhari: 893, dan Sahih Muslim,:1829)

Seorang ibu yang bekerja tetap memiliki tanggung jawab di rumah.

Islam menuntun, agar tak ada yang terabaikan.

Dengan cara ini, ibu bekerja dapat menjalani peran ganda tanpa kehilangan nilai-nilai keluarga.

Pentingnya Kualitas Waktu Bersama

Kualitas waktu adalah kunci. Penelitian menunjukkan bahwa kebersamaan yang bermakna antara ibu dan anak dapat menggantikan waktu yang hilang.

Menurut Brooks-Gunn et al. (2002), interaksi yang penuh kasih meski dalam waktu terbatas memiliki dampak besar pada perkembangan mental anak.

Sering kali, waktu sedikit tapi bermakna lebih berharga daripada waktu yang panjang namun tak ada kedekatan.

Anak butuh merasa dihargai. Ibu yang bekerja bisa memberi perhatian ini dengan sederhana, mendengar cerita anak, mendampinginya belajar, atau merangkul mereka di akhir pekan.

Ketika anak tahu bahwa perhatian ibu sepenuhnya untuk mereka, mereka merasa dekat, meski ibu tak selalu ada setiap saat.

Menutup dengan Kasih Sayang

Pada akhirnya, perasaan anak tentang ibu yang bekerja bergantung pada bagaimana keluarga menjaga kebersamaan.

Kehadiran ibu, meski sedikit, bisa menjadi fondasi yang kuat.

Dengan keseimbangan, ibu bekerja tetap dapat menjadi sosok yang hangat, pelindung bagi kebutuhan emosional anak.

Dalam Islam, kasih sayang ibu adalah ibadah.

Ketika ibu yang bekerja mampu menjalani dua peran ini, anak-anak tumbuh dengan perasaan cinta dan penghargaan baik terhadap ibu, maupun terhadap peran perempuan di masyarakat.

Mereka mengerti bahwa ibu mereka tak hanya milik keluarga, tapi juga memiliki tempat di dunia yang lebih luas.

Sumber: 

  1. Bianchi, S. M. (2000). Maternal employment and time with children: Dramatic change or surprising continuity? Demography, 37 (4), 401–414. doi:10.1353/dem.2000.0001
  2. Bowlby, J.  (1969). Attachment and Loss: Volume I. Attachment. London: Hogarth Press.
  3. Brooks-Gunn, J., Han, W.-J., & Waldfogel, J. (2002). Maternal employment and child cognitive outcomes in the first three years of life: The NICHD Study of Early Child Care. Child Development, 73 (4), 1052–1072. doi:10.1111/1467-8624.00457
  4. Lamb, M. E. (2004). The role of the father in child development. Child Development, 75 (2), 476–483. doi:10.1111/j.1467-8624.2004.00688.x
  5. Zaslow, M. J., & Hayes, C. D. (1986). Working families and growing kids: Caring for children and adolescents. National Academy Press.
  6. Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah: 233)
  7. Sahih al-Bukhari: 893