Kita ini adalah praktisi, bukan akademisi.
Gak usah berdefinisi-definisi di sini, langkah konkret apa yang kita lakukan untuk membangun Sumatera Barat bersama-sama.
Kalau teori, ini S1, S2, es doger dan es teler namanya itu.
Ucapan salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat dalam debat 19 November 2024 itu disambut riuh pendukungnya.
Namun, sebagai seorang yang pernah merasakan pendidikan hingga jenjang S2, ucapan tersebut menyisakan kegelisahan.
Apakah benar teori hanya sebatas retorika akademis yang jauh dari kenyataan?
Apakah dengan berteori, kita dianggap kehilangan aksi nyata?
Kegelisahan ini melahirkan satu pertanyaan besar: apakah teori benar-benar tidak berguna dalam praktik lapangan?
Padahal, selama masa perkuliahan, para dosen sering menekankan bahwa teori adalah panduan, terutama dalam merumuskan kebijakan yang menyentuh hajat hidup orang banyak.
Abstraksi dari Kenyataan
Creswell (2014) menegaskan bahwa teori bertujuan menjelaskan fenomena nyata, didukung pengujian ilmiah yang memastikan kebenarannya secara empiris.
Pernyataan bahwa “kita orang lapangan, tak perlu berteori, yang penting aksi nyata” terdengar heroik.
Namun, justru dapat berisiko melahirkan kebijakan yang tidak efektif atau bahkan merugikan.
Setiap langkah konkret memerlukan pijakan konseptual agar tidak salah arah.
Akademisi: Rambu bagi Kekuasaan
Akademisi memiliki peran sebagai rambu-rambu penguasa dalam menjaga demokrasi.
Noam Chomsky (2022) menekankan bahwa kaum intelektual bertugas mengungkap kebenaran dan menyampaikan kritik pada kebijakan yang menyimpang.
Contohnya terlihat ketika para guru besar dari berbagai universitas memberikan teguran keras pada DPR yang hendak menganulir keputusan Mahkamah Konstitusi terkait batas usia calon kepala daerah.
Kritik akademisi melindungi demokrasi dari keputusan arbitrer.
Mengabaikan teori atau aturan dalam perumusan kebijakan hanya akan melahirkan keputusan yang berbahaya bagi masyarakat luas.
Memutus Dikotomi yang Tidak Sehat
Dikotomi antara praktisi dan akademisi tidak hanya merugikan dunia pendidikan, tetapi juga mengerdilkan potensi perbaikan sistem pemerintahan.
Ungkapan yang menyepelekan teori, seperti “es doger dan es teler,” menciptakan demotivasi bagi masyarakat untuk mengejar pendidikan tinggi.
Lebih dari itu, persepsi semacam ini menanamkan kesombongan pada politisi yang merasa paling memahami kondisi lapangan dan enggan mendengar masukan.
Sikap seperti ini dapat membuka jalan bagi otoritarianisme, yang sangat berbahaya bagi demokrasi.
Meski demikian, saya memahami bahwa ucapan tersebut mungkin hanya terlontar dalam suasana debat yang panas.
Pada akhirnya, pasangan calon tersebut juga menyatakan komitmen untuk melibatkan akademisi dalam merumuskan kebijakan jika terpilih.
Bagi siapa pun yang menjadi pemimpin, teori bukanlah penghambat, melainkan panduan.
Teori membantu mencegah kesalahan fatal dalam praktik lapangan.
Penafsiran teori pun sebaiknya dilakukan bersama akademisi yang memiliki kompetensi di bidangnya.
Mari hentikan dikotomi antara akademisi dan praktisi.
Sebaliknya, keduanya perlu bersinergi untuk membangun kebijakan yang bermanfaat dan berkelanjutan.
PENULIS: Adzkia Arif, Penulis dan Pengamat Sosial
Referensi:
- Creswell, J.W. (2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches.
- Chomsky, N. (2022). Understanding Power: The Indispensable Chomsky.
More Stories
Mengapa Masyarakat Makin Jauh dari Partai Politik?
Da’i dalam Politik Menghadirkan Dakwah atau Ambisi?
Janji Manis Kampanye Politik di Era Digital