Citra telah menjadi senjata utama untuk mempengaruhi persepsi rakyat, membangun kedekatan emosional, dan menciptakan narasi kepemimpinan yang ideal.
Di balik semua itu muncul dilema besar: apakah pencitraan adalah strategi cerdas untuk menjangkau rakyat, atau hanya sebuah ilusi yang menyesatkan demokrasi?
Ilusi Politik yang Menyesatkan
Saat ini, masyarakat sering kali terpesona oleh bagaimana seorang politisi tampil di depan kamera, ketimbang apa yang benar-benar mereka lakukan di belakang layar.
Misalnya, seorang politisi yang sering bermain blusukan, membagikan momen makan di warung sederhana atau berkunjung ke pasar tradisional.
Hal ini sering dipandang oleh publik sebagai tanda bahwa mereka adalah pemimpin rakyat.
Baca Juga: Politik Uang Mengancam Demokrasi
Padahal, langkah-langkah simbolik seperti itu belum tentu berbanding lurus dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.
Erving Goffman dalam teori dramaturgi sosialnya mengungkapkan bahwa kehidupan sosial, termasuk politik, sering kali dianalogikan sebagai panggung besar.
Politisi tampil sempurna di depan publik (front stage) sambil menyembunyikan realita di balik layar (back stage).
Dalam konteks ini, politisi memainkan peran tertentu untuk menciptakan kesan yang diinginkan oleh rakyat.
Blusukan
Gaya blusukan yang pernah dipopulerkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah simbol perubahan gaya kepemimpinan yang lebih dekat dengan rakyat.
Gaya ini menyiratkan pemimpin yang personal, peduli, dan responsif terhadap permasalahan masyarakat.
Tak hanya itu, blusukan juga mengubah pola komunikasi politik yang sebelumnya kaku menjadi lebih cair.
Namun, fenomena ini mulai ditiru oleh politisi lain tanpa substansi yang nyata.
Blusukan tanpa kebijakan konkret hanya menciptakan citra tanpa perubahan.
Ini menunjukkan bahwa pencitraan bisa menjadi pedang bermata dua: mendekatkan pemimpin kepada rakyat, atau justru menciptakan jarak antara ilusi dan kenyataan.
Politik Kosmetik
Kritik terhadap politik kosmetik semakin tajam ketika publik menemukan politisi yang lebih mengutamakan pencitraan daripada kebijakan yang substansial.
Ironisnya, demokrasi yang sejatinya mengedepankan substansi sering kali tergelincir menjadi ajang drama politik.
Media sosial, yang seharusnya menjadi alat komunikasi langsung antara pemimpin dan rakyat, malah sering disalahgunakan sebagai panggung pencitraan.
Publik terkadang lupa bahwa apa yang terlihat di layar bukan selalu mencerminkan kenyataan.
Antara Citra dan Kenyataan
Abraham Lincoln pernah berkata, You can fool the people some of the time, and some of the people all the time.
Pencitraan tanpa kejujuran dan kerja nyata hanya akan menciptakan kepercayaan yang rapuh.
Ketika realitas kebijakan tidak sejalan dengan citra yang ditampilkan, publik akan semakin skeptis terhadap pemimpin mereka.
Jika pencitraan hanya menjadi topeng untuk menutupi kelemahan, maka sudah jelas demokrasi telah kehilangan intinya.
Publik akan lebih sibuk mengomentari gaya berpakaian pemimpin daripada mempertanyakan dampak kebijakan yang mereka ambil.
Politik pun menjadi ajang permainan persepsi, bukan lagi perjuangan untuk kepentingan rakyat.
Menilai Pemimpin Berdasarkan Substansi
Sebagai pemilih, sudah saatnya kita lebih kritis dalam menilai seorang pemimpin.
Rekam jejak, konsistensi, dan dampak nyata harus menjadi tolak ukur utama.
Media juga memiliki tanggung jawab untuk mengungkapkan fakta di balik wajah yang ditampilkan oleh politisi, alih-alih hanya memperkuat narasi pencitraan yang dangkal.
Citra hanyalah kulit luar. Demokrasi sejati membutuhkan pemimpin yang tidak hanya terlihat baik, tetapi juga benar-benar berbuat baik.