Nyatanya, fenomena politik uang telah mencederai prinsip demokrasi Indonesia.
Fenomena tersebut mencuat pada saat pesta demokrasi di seluruh penjuru negeri ini.
Ironisnya, rakyat yang berperan sebagai pemilih dan para calon politisi sama-sama tahu siapa, di mana, kapan, dan bagaimana proses praktik jual beli suara itu terjadi.
Fenomena ini tampaknya sudah menjadi normalisasi di tengah kehidupan politik Indonesia, tak lepas dari kekuasaan cuan sebagai indikator perubahan di dalamnya.
Kekuasaan politik menjadi linear dengan kekayaan.
Kekuasaan dan uang seakan memiliki fungsi sosial yang sama, yakni suatu fungsi yang menjadi acuan cara bertingkah laku dalam memenuhi kebutuhan hidup individu, keluarga, kelompok, masyarakat, dan organisasi.
Kiranya inilah yang menjadi dasar dari realitas politik uang (money politic).
Penyebab
Fakta psikologi menyatakan bahwa manusia akan mengikuti arah yang memungkinkan mereka mencapai tujuan, apapun caranya.
Keadaan rakyat Indonesia yang minimnya angka persentase rakyat berpendidikan dan kebiasaan yang tidak suka literasi menjadikan mereka target pasar praktik kotor ini.
Dampak terhadap Kepemimpinan
Salah satu dampak paling nyata dari politik uang adalah tergerusnya kualitas kepemimpinan.
Ketika kursi kekuasaan dapat dibeli dengan uang, yang terpilih bukanlah individu yang berkompeten dan berintegritas, melainkan mereka yang memiliki akses dan kemampuan untuk membagi-bagi uang.
Hal ini berujung kepada pemimpin yang buruk, di mana kepentingan pribadi dan kelompok mengalahkan kepentingan publik.
Kebijakan yang dihasilkan pun cenderung tidak pro-rakyat, koruptif, dan berorientasi pada pemenuhan janji-janji.
Semuanya dibeli, bukan berorientasi pada visi dan misi pembangunan yang berkelanjutan.
Merosotnya Kepercayaan Publik terhadap Demokrasi
Lebih jauh lagi, praktik politik uang secara sistematis merusak kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi.
Ketika rakyat menyaksikan bagaimana suara mereka dapat dibeli dan dimanipulasi dengan uang, rasa apatis dan pesimisme akan semakin meningkat.
Baca Juga: Influencer dalam Politik: Membangun atau Mengaburkan?
Partisipasi politik yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi menjadi terkikis, dan ini menciptakan ruang kosong yang dapat diisi oleh kekuatan anti-demokrasi.
Demokrasi yang seharusnya milik rakyat justru menjadi ajang pertarungan untuk meraup kekayaan segelintir elit nakal.
Konsekuensi Sosial dan Ekonomi
Tingkah kotornya tak berhenti hanya sebatas kampanye berbasis politik uang.
Para politisi yang terpilih pun cenderung tidak bersih dalam melakukan tugas negaranya.
Sudah pasti inilah akar dari rekor Indonesia sebagai negara dengan kasus korupsi terbesar nomor tiga di dunia.
Bukti-bukti sudah kuat bahwa pada tahun 2019 lalu, 40% responden terlibat dalam praktik politik uang.
Angka persentase terus meningkat pada pemilu tahun 2024.
Uang yang seharusnya digunakan untuk membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, justru dialihkan untuk membiayai praktik-praktik koruptif.
Hal ini memperparah kesenjangan ekonomi dan sosial, serta menghambat upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Sumber daya yang terbatas menjadi terbuang sia-sia, sementara kebutuhan masyarakat yang mendesak tetap terabaikan.
Mengatasi Politik Uang
Upaya pemberantasan politik uang membutuhkan komitmen dan kerja keras dari berbagai pihak.
Lembaga penegak hukum harus lebih tegas dan konsisten dalam menindak pelaku politik uang, tanpa pandang bulu.
Apalagi ini sudah termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sayangnya, sistem hukum yang lemah dan penegakkan hukum yang tak jelas mengurangi efektivitas UU ini.
Selain tokoh eksternal, tokoh internal dari partai politik sendiri juga memiliki tanggung jawab besar untuk mencegah praktik kotor ini.
Penguatan internal partai, transparansi keuangan, dan pendidikan politik bagi kader menjadi langkah penting untuk menciptakan budaya politik yang bersih.
Menghentikan Normalisasi Politik Uang
Oleh karena itu, mari kita hentikan normalisasi politik uang di negeri pertiwi ini.
Kebangkitan kesadaran nasionalisme adalah salah satu jalan yang dapat ditempuh.
Setidaknya kita sebagai manusia terpelajar dapat mengurangi akumulasi fenomena politik uang di negeri ini.