Pada akhir tahun 2024, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar 6,5 persen.
Keputusan ini memicu diskusi luas tentang keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha.
Bagi sebagian besar buruh, kenaikan ini membawa harapan.
Namun, muncul pula pertanyaan besar tentang dampaknya terhadap perekonomian secara keseluruhan.
Angka yang tampaknya sederhana ini menyimpan kompleksitas yang dalam.
Ia dapat dianalisis dari berbagai sudut, bagaikan kaleidoskop yang memantulkan beragam tantangan dan peluang.
Rumusan Kebijakan dan Implikasi Kesejahteraan
Pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar 6,5 persen pada akhir 2024.
Keputusan ini didasari pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023.
Kenaikan tersebut dihitung dengan memperhatikan tiga faktor utama: inflasi yang mencapai 1,71 persen, pertumbuhan ekonomi yang tercatat 4,95 persen, dan indeks alpha yang bervariasi antara 0,2 hingga 0,8.
Perhitungan awal menunjukkan kenaikan sekitar 6,66 persen.
Namun, untuk menyesuaikan dengan daya serap industri, angka yang disepakati adalah 6,5 persen.
Kenaikan ini memberikan secercah harapan bagi sebagian buruh, tetapi juga memunculkan ketidakpuasan.
Bagi banyak pekerja, angka tersebut dirasa masih jauh dari cukup.
Baca Sebelumnya: Upah Minimum Nasional 2025 Naik, Harapan atau Beban Baru?
Meskipun merupakan langkah awal yang positif, angka 6,5 persen tidak menggambarkan kenyataan kebutuhan hidup yang semakin tinggi.
Bagi mereka, upah yang diterima tidak lagi mencerminkan biaya hidup yang terus meningkat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kebutuhan hidup layak (KHL) nasional pada 2024 mencapai Rp1,02 juta per bulan.
Namun, data tersebut tidak menggambarkan kesenjangan biaya hidup yang signifikan antara wilayah-wilayah di Indonesia.
Di DKI Jakarta, pengeluaran riil per kapita tercatat mencapai Rp1,66 juta per bulan, sementara di Papua Pegunungan, pengeluaran per kapita hanya Rp476 ribu.
Jelas bahwa angka UMN yang seragam tidak dapat menjawab disparitas besar dalam biaya hidup antar wilayah.
Kebijakan kenaikan UMN ini memunculkan tantangan baru.
Bagaimana memastikan upah yang layak bagi pekerja di wilayah dengan biaya hidup tinggi, tanpa merugikan industri di daerah yang lebih ekonomis?
Pemerintah harus memikirkan langkah lebih lanjut agar kebijakan ini benar-benar mencerminkan realitas kehidupan pekerja di seluruh Indonesia.
Lebih dari Sekadar Angka
Buruh berharap kebijakan upah minimum ini bukan sekadar angka, tetapi alat untuk meningkatkan kualitas hidup.
Harapan mereka mencerminkan pandangan ilmiah dalam teori kesejahteraan sosial.
Atkinson (2015) menekankan pentingnya pengupahan yang sesuai dengan kebutuhan hidup riil, bukan hanya teori ekonomi makro.
Upah yang tidak mengimbangi inflasi dan harga barang akan menggerogoti daya beli pekerja.
Selain itu, kebijakan yang tidak mempertimbangkan disparitas regional berisiko memperlebar kesenjangan sosial.
Pekerja berharap kebijakan ini berdampak jangka panjang, memberikan kesejahteraan yang merata, tanpa mengorbankan daya saing usaha.
Tantangan terbesar adalah bagaimana mengakomodasi harapan pekerja tanpa merugikan pengusaha.
Dalam literatur ekonomi, Amartya Sen (1999) menekankan konsep kesejahteraan ekonomi berkelanjutan.
Menurutnya, kebijakan ekonomi harus memperhatikan distribusi kekayaan sekaligus keberlanjutan produksi dan investasi.
Sen mengajukan bahwa kesejahteraan ekonomi bukan hanya soal pendapatan, tetapi juga tentang kapasitas untuk memilih dan menjalani kehidupan yang dihargai.
Kebijakan yang menyeimbangkan keduanya kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan ekonomi menjadi kunci untuk mencapai tujuan jangka panjang.
Ini bukan sekadar soal angka, tetapi tentang kualitas hidup yang lebih baik untuk semua pihak.
Tanggung Jawab Bersama
Peningkatan UMN memang membawa tantangan besar bagi pengusaha, terutama di sektor padat karya seperti tekstil dan manufaktur.
Kenaikan biaya tenaga kerja ini dapat mengurangi daya saing industri, yang pada akhirnya berpotensi memicu ketegangan sosial.
Dalam hal ini, kebijakan upah minimum sektoral (UMS) yang sedang digagas bisa menjadi solusi bagi sektor-sektor tertentu yang lebih terpengaruh oleh kenaikan biaya tenaga kerja.
Namun, implementasi UMS ini harus diimbangi dengan pengawasan yang ketat, agar tidak justru menciptakan ketimpangan baru antar sektor industri.
Kebijakan ini juga perlu disertai dengan insentif bagi pengusaha.
Tanpa adanya kebijakan pendukung seperti insentif pajak atau program peningkatan produktivitas, kenaikan upah berisiko mengurangi daya saing industri.
Hal ini sejalan dengan pandangan ekonom terkenal John Maynard Keynes (1936) dalam The General Theory of Employment, Interest, and Money.
Keynes menekankan bahwa kebijakan fiskal yang tepat dapat menciptakan keseimbangan dalam perekonomian, terutama dalam menghadapi krisis atau ketidakstabilan ekonomi.
Keynes berargumen bahwa ketika pengusaha terbebani dengan biaya tambahan, seperti kenaikan upah, diperlukan stimulus fiskal berupa insentif pajak atau investasi publik untuk mempertahankan kestabilan ekonomi.
Dengan cara ini, pengusaha dapat mempertahankan daya saing mereka tanpa harus mengurangi tenaga kerja atau menurunkan kualitas produk.
Insentif ini, menurut Keynes, berfungsi untuk merangsang permintaan domestik dan mengimbangi penurunan produksi yang mungkin terjadi akibat peningkatan biaya. Sehingga, meskipun biaya tenaga kerja meningkat, produktivitas dan daya beli masyarakat dapat tetap terjaga.
Dengan kata lain, keseimbangan antara kebijakan upah dan insentif untuk pengusaha sangat penting untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang sehat, di mana kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan usaha dapat tumbuh berdampingan.
Tanpa kebijakan pendukung yang memadai, kebijakan upah yang meningkat bisa menjadi bumerang bagi perekonomian, seperti yang diungkapkan oleh Keynes.
Harapan yang Menanti
Presiden Prabowo, dalam pengumuman terkait kebijakan ini, menekankan pentingnya kesejahteraan bukan hanya dalam bentuk angka semata, tetapi juga dalam bentuk kualitas hidup yang terjamin.
Program-program pendukung seperti subsidi kebutuhan pokok dan program makan bergizi untuk anak-anak buruh menjadi langkah tambahan yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan pekerja secara menyeluruh.
Di balik itu semua, ada banyak pekerjaan rumah yang masih harus diselesaikan.
Dialog tripartit antara pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh harus terus dilanjutkan untuk menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, kebijakan kenaikan UMN harus dilihat sebagai langkah pertama yang perlu disertai dengan kebijakan pendukung lainnya.
Keseimbangan antara harapan pekerja dan kemampuan pengusaha harus selalu dijaga agar kebijakan ini tidak hanya menjadi solusi sementara, tetapi memberi dampak jangka panjang yang signifikan bagi seluruh pihak.
Kaleidoskop kebijakan upah minimum ini menggambarkan kenyataan yang penuh tantangan.
Di satu sisi, ada harapan pekerja untuk kesejahteraan yang lebih baik, sementara di sisi lain, ada pengusaha yang harus bertahan di tengah gempuran globalisasi dan persaingan.
Dalam keindahan perbedaan ini, terletak tantangan terbesar: bagaimana menemukan titik temu yang mampu menjaga keseimbangan antara harapan dan kenyataan.
Sumber
- Atkinson, A. B. (2015). Inequality: What Can Be Done? Harvard University Press.
- Keynes, J. M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money. Harcourt.
- Sen, A. (1999). Development as Freedom. Oxford University Press.