Di bawah langit luas yang memayungi negeri kita, demokrasi Indonesia berdiri seperti pohon tua yang kokoh.
Akar-akarnya menghujam dalam tanah sejarah, menembus lapisan peradaban, dan menyerap kebijaksanaan leluhur.
Cabang-cabangnya, meski diterpa badai dan digugurkan daun-daunnya, terus menjulang, mencari cahaya harapan.
Inilah refleksi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Welhendri Azwar dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar.
Sebuah penuturan yang bukan sekadar akademik, tetapi juga lantunan jiwa yang menjelajahi tikam jejak demokrasi Indonesia.
Dengan pendekatan yang menyentuh baik analisis ilmiah maupun narasi budaya, beliau menguraikan perjalanan bangsa kita dari rahim penjajahan hingga euforia reformasi.
Demokrasi: Sebuah Ladang yang Tak Pernah Henti Ditabur
Prof. Welhendri Azwar membuka catatannya dengan pengakuan: demokrasi Indonesia tidak lahir dari ruang kosong.
Ia adalah hasil pertemuan gagasan, perjuangan, dan pengorbanan yang tiada henti.
Sebuah perjuangan yang dimulai sejak Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan, berlanjut dengan percikan semangat pada Pemilu pertama tahun 1955, hingga menjelma menjadi gerakan reformasi yang menggetarkan orde lama.
Baca Juga: Empat Guru Besar, Kilau Keilmuan dari UIN Imam Bonjol Padang
Dalam pidatonya, beliau menggarisbawahi bahwa demokrasi bukanlah sekadar proses politik, tetapi suatu ekosistem nilai.
Keberagamannya adalah taman yang indah, namun rawan hama intoleransi.
Oleh sebab itu, demokrasi harus dijaga, disiram dengan etika, dan dilindungi oleh pendidikan yang merdeka.
Mengurai Filter Bubbles di Era Digital
Tak dapat dimungkiri, teknologi telah menjadi lanskap baru bagi demokrasi.
Di sinilah Prof. Welhendri menghadirkan renungan yang tajam.
Ia menyoroti bahaya filter bubbles, ruang gema, yang membuat kita hanya mendengar suara yang selaras dengan keyakinan kita sendiri.
Dalam era digital, ancaman ini menjadi nyata, menggerus keberagaman wacana dan mengikis dialog lintas identitas.
“Di sinilah tantangan kita,” ungkapnya.
Demokrasi membutuhkan ruang untuk semua suara, termasuk yang berbeda dan berseberangan.
Teknologi, menurutnya, harus menjadi alat untuk memperluas cakrawala berpikir, bukan membatasi pandangan pada horizon yang sempit.
Menuju Demokrasi yang Profetik
Pidato ini tidak hanya menyoroti masalah, tetapi juga menawarkan visi.
Demokrasi yang sejati, menurut Prof. Welhendri, harus berakar pada nilai-nilai profetik: keadilan, kasih sayang, dan keberanian moral.
Nilai-nilai ini adalah fondasi yang harus diwariskan kepada generasi mendatang, agar kedaulatan rakyat tidak hanya menjadi ritual lima tahunan, tetapi denyut nadi peradaban.
Dalam pandangannya, peran pendidikan sangatlah vital. Guru, dosen, dan pemimpin masyarakat harus menjadi penanam benih nilai-nilai demokrasi.
Mereka adalah penjaga cahaya di tengah kabut pragmatisme politik.
Sebuah Akhir yang Tak Pernah Usai
Pidato Prof. Welhendri bukanlah sebuah kesimpulan, melainkan undangan.
Sebuah ajakan untuk merenung, belajar, dan bertindak demi masa depan yang lebih baik.
Demokrasi Indonesia, sebagaimana pohon tua itu, membutuhkan perawatan, kesabaran, dan cinta dari setiap warganya.
More Stories
Prabowo Serukan Persatuan Dunia Muslim di KTT D-8
Skandal Uang Palsu di UIN Alauddin Makassar
PPN Naik 12% Ancam Harga BBM dan Ekonomi Indonesia