Polusi udara kini mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah manusia.
Menurut para ilmuwan, hal ini mencerminkan kegagalan dunia dalam menekan perubahan iklim.
Konsentrasi karbon dioksida, pendorong utama pemanasan global, tumbuh lebih cepat dari sebelumnya.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), kenaikan ini dipicu oleh tingginya konsumsi bahan bakar fosil dan ekosistem yang semakin lemah dalam menyerap karbon.
Pada 2023, kadar metana dan nitrogen oksida juga mencapai rekor tertinggi.
Potensi atmosfer untuk menahan panas kini 51,5 persen lebih tinggi daripada tahun 1990. Ilmuwan PBB telah mengeluarkan peringatan serius tentang dampak perubahan iklim.
“Ini harus menjadi peringatan bagi para pembuat kebijakan,” kata Sekretaris Jenderal WMO, Celeste Saulo.
“Setiap peningkatan kadar gas dan kenaikan suhu memiliki dampak nyata bagi kehidupan kita.”
Selama 14 bulan terakhir, suhu global rata-rata telah meningkat setidaknya 1,5 derajat Celsius dari tingkat pra-industri.
Dalam laporan terbaru, ilmuwan PBB mendesak negara-negara untuk mengurangi emisi hingga 42 persen dari tingkat 2019 guna menghindari dampak terburuk pemanasan global akibat polusi udara.
Namun, target ini masih jauh dari tercapai.
Data Pemanasan Global
Data dari ratusan stasiun pengukuran di 80 negara menunjukkan gas rumah kaca di atmosfer meningkat pesat dalam dekade terakhir.
Konsentrasi karbon dioksida melampaui 420 bagian per juta, tertinggi sejak zaman Pliosen tiga juta tahun lalu.
Kenaikan ini sebagian besar dipicu oleh pembakaran batu bara, minyak, dan gas.
Selain itu, sistem alami kini mengeluarkan lebih banyak gas rumah kaca dan semakin sulit menyerap karbon.
Kenaikan karbon dioksida bertepatan dengan lonjakan karbon monoksida, yang juga dipicu kebakaran hutan yang meningkat 16 persen pada musim 2023-2024.
Data menunjukkan kenaikan metana sebagian besar berasal dari ekosistem yang terdegradasi.
Analisis gas ini menunjukkan bahwa metana kini lebih banyak dihasilkan oleh aktivitas mikroba daripada pembakaran bahan bakar fosil.
Peningkatan metana ini diduga disebabkan oleh tempat pembuangan sampah, lahan basah tropis yang memanas, dan pencairan es Arktik.
Karbon yang diserap oleh ekosistem menurun sekitar 28 persen dibandingkan tahun 2021 dan 2022.
Penurunan ini mungkin disebabkan oleh suhu rekor yang menekan tanaman dan mengurangi kemampuan ekosistem untuk menyerap karbon.
Para peneliti memperingatkan bahwa semakin Bumi menghangat, kemampuan alami untuk menyerap karbon akan semakin melemah.