Presiden Prabowo Subianto menyoroti mahalnya biaya pemilu di Indonesia.
Pada HUT Ke-60 Partai Golkar di Bogor, Kamis (12/12), ia menyerukan reformasi.
“Negara tetangga kita lebih efisien. Malaysia dan Singapura menyerahkan pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Tidak perlu uang besar seperti kita,” ujarnya.
Menurut Prabowo, anggaran besar sebaiknya dialihkan untuk gizi anak, perbaikan sekolah, dan irigasi.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, menanggapi.
Ia menyebut ide ini akan menjadi bahan diskusi RUU Pilkada.
“Ini akan dibahas saat evaluasi Pilkada 2024 bersama penyelenggara pemilu,” katanya.
RUU Pilkada dan Tantangan Perubahan
RUU perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 masuk Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029.
Usulan efisiensi Prabowo akan dipadukan dengan masukan berbagai pihak.
Namun, Dede Yusuf menegaskan, sistem pemilu langsung adalah warisan demokrasi reformasi.
Meski mahal, sistem ini memperluas partisipasi rakyat.
“RUU Pilkada berstatus carry over. Usulan efisiensi tetap didalami dengan mempertahankan demokrasi yang inklusif,” ujarnya.
Belajar dari Negara Tetangga
Malaysia memilih kepala daerah melalui DPRD.
Cara ini memangkas biaya, tetapi mengurangi hak pilih rakyat.
Singapura pun mengutamakan efisiensi serupa.
Baca Juga: Agus Buntung: Dibalik Topeng Disabilitas, Terungkap Kekejaman yang Mengejutkan
Indonesia, dengan penduduk 270 juta jiwa dan wilayah luas, menghadapi tantangan berbeda.
Pemilu langsung memperkuat legitimasi pemimpin daerah.
Namun, biaya besar dan politik uang jadi masalah.
Anggaran Pemilu Indonesia
Pilkada Serentak 2024 diperkirakan menelan Rp 41 triliun.
Data Kemendagri menunjukkan, 541 pemda telah menganggarkan Rp 28,75 triliun untuk KPU, Rp 8,55 triliun untuk Bawaslu, Rp 871,66 miliar untuk TNI, dan Rp 2,83 triliun untuk Polri.
Angka ini bisa bertambah karena 23 pemda di Aceh belum meneken NPHD.
Biaya pemilu Indonesia jauh lebih besar dibanding Malaysia (Rp 2,4 triliun pada 2022) atau Singapura (Rp 310 miliar pada 2020).
Namun, lebih kecil dari India (Rp 136 triliun pada 2019) dan Amerika Serikat (Rp 225 triliun pada 2020).
Tingginya biaya dipengaruhi jumlah penduduk dan pemilu langsung di berbagai tingkat.
Dampak Ekonomi dan Efisiensi
Biaya pemilu yang besar memengaruhi sektor lain.
Apakah dana ini sebaiknya dialihkan untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur?
Sistem pemilu langsung juga membuka celah politik uang.
Reformasi harus fokus pada penghematan tanpa mengurangi partisipasi rakyat.
Diskusi reformasi sistem pemilu yang efisien perlu mendalam.
Efisiensi anggaran penting, tetapi semangat demokrasi partisipatif harus tetap dijaga.
1 thought on “Soal Biaya Pemilu: Mungkinkah Sistem Politik Indonesia Belajar dari Negara Tetangga?”