Serangan fajar selalu hadir menjelang pemilu.
Ia datang membawa janji palsu, menyusup lewat celah kemiskinan dan ketidaktahuan.
Uang tunai, sembako, atau barang-barang kebutuhan ditawarkan dengan satu tujuan, membeli suara.
Di tengah malam, ketika dunia sedang lelap, tangan-tangan licik bekerja.
Uang dan bantuan diselipkan, menyasar mereka yang lemah, mereka yang butuh.
Hari pemilihan seolah menjadi pasar gelap, di mana suara dijual murah tanpa memikirkan nilai sejatinya.
Ironisnya, praktik ini dianggap biasa. Sebagian menyebutnya rezeki, hadiah dari langit.
Laporan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2019 menunjukkan bahwa sebagian masyarakat melihat pemilu sebagai “pesta demokrasi yang identik dengan bagi-bagi rezeki” (LIPI, 2019).
Di balik itu, ada demokrasi yang tergadai dan masa depan yang perlahan memudar.
Kemiskinan menjadi alasan utama. Di hadapan kebutuhan hidup yang mendesak, bantuan sekecil apa pun terasa berarti.
Baca Juga: Buron: Harun Masiku, Engkau di Mana?
Laporan Poverty and Equity Brief oleh Bank Dunia menyebutkan bahwa pada 2023, sekitar 9,6% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (World Bank, 2023).
Inilah mengapa masyarakat rentan terhadap politik uang
Lalu ada ketidaktahuan. Banyak yang tak paham apa itu politik, apa arti suara mereka.
Paslon yang tak berintegritas memanfaatkan celah ini.
Mereka bermain licik, meraih keuntungan dari ketidaktahuan orang lain.
Budaya pun turut berperan. “Rezeki jangan ditolak,” begitu kata mereka.
Padahal, rezeki ini datang dengan harga mahal. Suara yang diberikan bukan sekadar angka, tapi nasib sebuah bangsa.
Dan hukum, tak jarang hanya menjadi tulisan.
Pasal 532 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan tegas melarang pemberian imbalan uang atau materi kepada pemilih.
Pelanggar dapat dipidana hingga empat tahun penjara atau denda maksimal Rp48 juta (UU Pemilu, 2017).
Namun, lemahnya penegakan hukum membuat pelaku merasa aman.
Mereka tahu, risiko tertangkap kecil. Jadi, praktik ini terus berulang, menjadi lingkaran yang sulit diputus.
Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Baik
Dampaknya tak kecil. Demokrasi kehilangan makna.
Pilihan tak lagi berdasarkan visi atau kualitas, melainkan uang yang diterima.
Kecurangan menjadi hal biasa, meracuni berbagai sisi kehidupan.
Lebih dari itu, serangan fajar menanamkan pola pikir instan.
Masyarakat terbiasa menunggu keuntungan sesaat, mengabaikan dampak jangka panjang.
Mentalitas ini menghambat langkah bangsa, menahan kemajuan yang seharusnya bisa diraih.
Namun, harapan selalu ada. Suara adalah hak, bukan barang dagangan.
Demokrasi adalah milik semua, bukan permainan segelintir orang.
Mari jaga suara kita. Jangan gadaikan masa depan hanya untuk selembar uang atau sekantong sembako.
Pilih dengan hati, bukan karena iming-iming sesaat. Demi bangsa, demi anak cucu, demi Indonesia yang lebih baik.
Sumber