Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, berdiri di hadapan para pemimpin negara-negara anggota Developing Eight (D-8).
Baginya ini adalah kesempatan langka untuk memperbaharui komitmen negara-negara Muslim dalam menghadapi tantangan besar.
Dengan tegas, Prabowo mengungkapkan apa yang menjadi kekhawatirannya: lemahnya solidaritas antarnegara Muslim dalam menghadapi isu-isu perdamaian dan kemanusiaan.
Ia mulai pidatonya dengan sebuah pertanyaan yang menggugah;
“Kita selalu menyatakan dukungan untuk Palestina, Suriah, tapi dukungan seperti apa yang sebenarnya kita berikan?”
Dengan nada serius, Presiden Prabowo menyoroti fakta bahwa meski negara-negara Muslim sering kali mengeluarkan pernyataan dukungan atau mengirimkan bantuan kemanusiaan.
Namun, langkah nyata yang diberikan masih jauh dari harapan.
“Ketika saudara kita kesusahan, kita memberikan pernyataan dukungan dan mengirimkan bantuan. Tapi mari kita lihat realitasnya,” ujar Prabowo.
Saat ia melanjutkan pidatonya, gambaran besar mulai terbentuk.
Negara-negara Muslim, meski memiliki identitas dan nilai yang sama, sering kali terpecah oleh konflik internal yang menghalangi mereka untuk bersatu.
“Kapan ini akan berakhir? Bagaimana kita bisa membantu Palestina jika kita saling bermusuhan antar sesama?”
Kalimat ini bukan hanya pertanyaan, tetapi juga ajakan untuk merenung.
Merenung tentang bagaimana kita sering kali terjebak dalam perpecahan yang seharusnya bisa dihindari, sementara umat Muslim di seluruh dunia tengah menghadapi tantangan besar.
Sebuah Potret Konflik Sosial yang Tak Terlihat
Untuk lebih memahami apa yang disampaikan oleh Prabowo, kita perlu melihatnya dari kacamata sosiologi.
Dalam Teori Solidaritas Sosial Emile Durkheim, ada dua jenis solidaritas: mekanik dan organik.
Solidaritas mekanik hadir ketika individu dalam kelompok memiliki kesamaan yang kuat, seperti halnya negara-negara Muslim yang memiliki ikatan agama dan budaya yang serupa.
Seharusnya, dengan dasar ini, negara-negara Muslim dapat menciptakan solidaritas sosial yang kuat untuk mengatasi tantangan bersama.
Baca Juga: Prabowo Serukan Persatuan Dunia Muslim di KTT D-8
Kenyataannya, sering kali solidaritas ini rapuh.
Durkheim mungkin akan menganggap perpecahan ini sebagai gejala dari ketidakseimbangan dalam masyarakat yang seharusnya mengedepankan kesamaan dan keterikatan antaranggota.
Perpecahan ini sering kali diperburuk oleh Teori Konflik Karl Marx, yang menyoroti bagaimana kepentingan ekonomi dan politik yang saling bertentangan dapat menciptakan ketegangan di antara kelompok.
Dalam konteks negara-negara Muslim, perpecahan yang dihadapi dapat dilihat sebagai hasil dari konflik kepentingan dan ketimpangan kekuasaan dalam hubungan internasional.
Sementara dunia internasional sering kali tidak menghormati suara negara-negara Muslim.
Ini terlihat dari ketidakadilan terhadap isu-isu hak asasi manusia yang sering kali diabaikan untuk umat Muslim.
Saatnya Bergerak Bersama
Pidato Prabowo bukan hanya sekadar kritik terhadap keadaan yang ada.
Ia menyarankan bahwa untuk mengatasi semua ini, kita perlu melangkah bersama dengan kesadaran baru.
Dengan lantang, ia menyerukan perlunya literasi digital dan regulasi yang ketat dalam dunia politik internasional.
Negara-negara Muslim harus mengutamakan transparansi dan berusaha untuk mendengarkan suara rakyat, bukan hanya mengejar keuntungan atau pengaruh.
“Indonesia akan berusaha semaksimal mungkin untuk memperkuat kerja sama antarnegara Muslim,” tegas Prabowo.
Prabowo juga mengingatkan para pemimpin untuk tidak hanya berfokus pada pernyataan kosong atau janji yang tak terwujud.
Sebaliknya, ia mengajak negara-negara Muslim untuk menjalin kerja sama yang lebih erat, menyatukan suara mereka dalam menghadapi berbagai tantangan global.
Negara-negara Muslim, menurutnya, harus mendasari kerja sama mereka pada prinsip integritas dan solidaritas yang lebih nyata.
Menghadapi Dunia dengan Kejujuran
Pada akhirnya, pidato Prabowo adalah sebuah seruan untuk berani menghadapi kenyataan.
Ia mengajak kita untuk tidak hanya melihat dunia melalui lensa idealisme, tetapi juga melalui kenyataan yang ada, dengan langkah-langkah nyata yang dapat membawa perubahan.
Ini bukan hanya tentang apa yang dikatakan, tetapi juga tentang apa yang kita lakukan.
Solidaritas bukanlah sekadar kata-kata, melainkan tindakan bersama yang dapat mengubah arah politik global.
Sumber:
- Durkheim, E. (1893). The Division of Labor in Society. Free Press.
- Marx, K. (1867). Das Kapital: A Critique of Political Economy. Verlag von Otto Meissner.
- Waltz, K. (1979). Theory of International Politics. Addison-Wesley.
More Stories
Sindikat Uang Palsu di UIN Alauddin Mengungkap Krisis Moral di Dunia Pendidikan
PPN Naik, Siap-siap Hadapi Dampaknya di Ekonomi
Pindar, Simbol Keamanan di Tengah Pinjol Ilegal