Ambisi besar Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% pada 2027 telah menjadi sorotan utama.
Strategi pemerintah pun jelas: menarik lebih banyak investasi asing, mendorong konsumsi domestik, dan meningkatkan ekspor.
Di balik ambisi ini, ada sebuah pertanyaan besar, bagaimana Indonesia bisa mencapai itu semua tanpa terjebak dalam ketergantungan yang lebih dalam pada sistem global?
Posisi Indonesia dalam Sistem Dunia
Kunci untuk memahami tantangan Indonesia ada pada teori Sistem Dunia yang dikembangkan oleh Immanuel Wallerstein.
Menurut teori ini, dunia terbagi dalam tiga kategori: pusat, semiperiferi, dan periferi.
Negara-negara pusat, seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat, memiliki kekuatan ekonomi yang dominan.
Mereka mengendalikan aliran modal dan teknologi.
Baca Juga: Ambisi Ekonomi 8 Persen Indonesia ala Prabowo
Negara semiperiferi, seperti Indonesia, berada di tengah.
Tidak sepenuhnya kuat, namun tidak juga sepenuhnya lemah.
Sementara negara periferi adalah yang paling terpinggirkan, tergantung pada negara pusat dalam hampir segala hal.
Indonesia, yang saat ini berada di posisi semiperiferi, berjuang untuk keluar dari bayang-bayang ketergantungan pada negara-negara kuat.
Namun, apakah ambisi besar tersebut bisa tercapai tanpa mengorbankan keberlanjutan ekonomi?
Tantangan Besar untuk Indonesia
Dalam perjalanan menuju ambisi tersebut, Indonesia harus menghadapi kenyataan pahit, ketergantungan pada penanaman modal asing (PMA) yang begitu besar.
Pada 2023, investasi asing langsung mencapai Rp744 triliun.
Hal ini bisa dilihat sebagai upaya untuk mendorong pembangunan, terutama di sektor-sektor seperti infrastruktur dan manufaktur.
Namun, ketergantungan ini menimbulkan risiko besar.
Investasi asing memang penting.
Tapi, pada saat yang sama, Indonesia menjadi lebih rentan terhadap perubahan kebijakan global.
Resesi di negara-negara maju atau fluktuasi pasar internasional bisa langsung mempengaruhi Indonesia.
Ketergantungan pada pasar luar juga bisa memperburuk ketimpangan dalam negeri.
Indonesia perlu lebih mandiri.
Namun, bukankah ada peluang? Tentu saja.
Indonesia bisa belajar dari negara-negara semiperiferi yang sukses mengurangi ketergantungan ini.
China, misalnya, yang awalnya tergantung pada ekspor, kini telah berhasil mengembangkan sektor domestiknya.
Indonesia bisa melakukan hal yang sama, dengan memperkuat kapasitas produksi dalam negeri dan memperbaiki ketergantungan pada pasar global.
Ketimpangan Sosial
Satu hal yang sering terlupakan dalam upaya mengejar angka pertumbuhan ekonomi adalah masalah ketimpangan sosial.
Dengan semakin kuatnya sektor-sektor yang terkait dengan pasar global, seperti manufaktur dan konstruksi, keuntungan sering kali tidak merata.
Sementara sebagian kecil elit ekonomi menikmati hasilnya, banyak rakyat biasa yang terpinggirkan.
Ini bukan hanya soal angka pertumbuhan, tapi tentang siapa yang menikmati manfaatnya.
Banyak proyek infrastruktur besar yang tak dirasakan langsung oleh masyarakat kecil.
Sektor-sektor lokal sering kali tertinggal.
Sementara itu, negara-negara semiperiferi seperti Indonesia rentan terhadap ketimpangan ini karena ketergantungannya pada sektor-sektor tertentu yang didorong oleh modal asing.
Bagaimana solusinya? Pemerintah perlu fokus pada kebijakan yang lebih inklusif.
Meningkatkan daya saing UMKM dan mendukung sektor lokal bisa menjadi langkah awal untuk menciptakan pertumbuhan yang merata.
Reformasi struktural yang berfokus pada pemerataan ekonomi harus menjadi prioritas.
Menatap Masa Depan dalam Sistem Dunia
Sekarang, Indonesia menghadapi pilihan besar.
Jika ingin mencapai ambisi pertumbuhan ekonomi 8%, Indonesia harus memikirkan lebih dari sekadar menarik investasi asing.
Negara ini perlu keluar dari ketergantungan pada pasar global yang tak pasti.
Tapi itu bukanlah hal yang mudah.
Menggunakan kerangka Sistem Dunia, kita tahu bahwa risiko ketergantungan dan ketidaksetaraan sosial tetap mengancam.
Namun, Indonesia memiliki peluang besar.
Negara ini berada di kawasan Asia Tenggara, yang semakin penting dalam peta ekonomi dunia.
Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia bisa membangun ekonomi yang mandiri, dengan tetap menjaga hubungan baik dengan negara-negara lain.
Tantangannya ada, tetapi masa depan Indonesia bisa lebih cerah jika kebijakan pembangunan disesuaikan dengan kebutuhan rakyat dan kondisi global.
Sumber:
- Wallerstein, Immanuel. The Modern World-System. Academic Press, 1974.
- Rodrik, Dani. The Globalization Paradox: Democracy and the Future of the World Economy. W.W. Norton & Company, 2011.