Pada peringatan HUT ke-60 Partai Golkar di Bogor, Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pandangan yang menggelitik hati tentang biaya pemilu.
Ia menyoroti mahalnya biaya pemilu di Indonesia. Bukan sekadar angka, tapi sebuah ironi.
Anggaran besar, katanya, seharusnya dialihkan untuk kebutuhan mendasar.
Peningkatan gizi anak, pendidikan, dan infrastruktur lebih pantas menjadi prioritas.
Ia membandingkan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura.
Baca Juga: Soal Biaya Pemilu: Mungkinkah Sistem Politik Indonesia Belajar dari Negara Tetangga?
Dua negara tetangga itu dinilai lebih efisien.
Pemilihan kepala daerah mereka cukup dipercayakan kepada DPRD.
Tanpa perlu membebani anggaran seperti di Indonesia.
Namun, apakah efisiensi selalu menjadi jawaban?
Menjaga Warisan Demokrasi
Ide Prabowo memicu diskusi. Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf, punya pandangan berbeda.
Ia tegas mempertahankan pemilu langsung.
Bagi Dede, sistem ini adalah warisan demokrasi reformasi.
Sebuah pencapaian yang lahir dari perjuangan panjang.
Pemilu langsung, katanya, bukan sekadar teknis.
Ini adalah simbol partisipasi rakyat. Sebuah panggung tempat suara setiap warga negara dihitung.
Meski mahal, ia yakin, nilai partisipasi itu tak ternilai harganya.
Namun, apakah semua pihak sepakat?
Pemilu dalam Bingkai Budaya
Pemilu di Indonesia bukan sekadar politik.
Ia adalah cerminan budaya. Dalam prosesnya, demokrasi terlihat hidup.
Ada keberagaman, ada gotong royong, ada harapan.
Sistem pemilu langsung memungkinkan suara terkecil sekalipun didengar.
Ini sejalan dengan prinsip inklusivitas dalam demokrasi. T
idak hanya memilih pemimpin, rakyat merasa dilibatkan. Dari Sabang sampai Merauke, semangat itu menyala.
Namun, ada harga yang harus dibayar. Dan harga itu tak kecil.
Biaya yang Membebani
Biaya pemilu di Indonesia memang fantastis. Pada Pilkada Serentak 2024, diperkirakan mencapai Rp 41 triliun.
Bandingkan dengan Malaysia yang hanya menghabiskan Rp 2,4 triliun pada 2022. Atau Singapura, dengan biaya Rp 310 miliar pada 2020.
Anggaran sebesar itu menjadi pertanyaan. Apakah layak mengorbankan dana sebesar itu? Di tengah banyaknya kebutuhan rakyat yang lebih mendesak?
Fukuyama (2014) mencatat bahwa biaya demokrasi yang tinggi sering kali menjadi penghalang bagi terciptanya keadilan politik.
Dalam proses demokrasi, biaya besar dapat menciptakan ketimpangan karena hanya kelompok tertentu, terutama yang memiliki akses finansial besar, yang mampu berpartisipasi secara efektif.
Hal ini membuka peluang terjadinya oligarki, di mana kekuasaan politik terkonsentrasi pada segelintir elite yang memiliki kekuatan ekonomi.
Selain itu, tingginya biaya pemilu dapat memperburuk masalah politik uang.
Kandidat dengan dukungan finansial besar sering kali lebih mudah memenangkan pemilu, bukan karena kualitas kepemimpinannya, tetapi karena kemampuan mereka untuk memanfaatkan sumber daya untuk kampanye.
Fenomena ini, menurut Fukuyama, berisiko melemahkan substansi demokrasi, karena proses politik lebih banyak ditentukan oleh uang daripada aspirasi rakyat.
Dampaknya tidak hanya terbatas pada pemilu, tetapi juga pada proses pengambilan kebijakan setelahnya.
Pemimpin yang terpilih melalui proses yang sangat mahal sering kali terjebak dalam kepentingan pihak-pihak yang mendanai kampanye mereka.
Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak kepada kelompok tertentu, bukan kepada kepentingan masyarakat luas.
Intinya, mereka yang kaya lebih mudah mendominasi politik. Sementara, rakyat kecil hanya bisa berharap.
Antara Efisiensi dan Demokrasi
Negara-negara seperti Malaysia dan Singapura memilih jalur efisiensi.
Namun, ada harga yang harus mereka bayar.
Partisipasi rakyat menjadi terbatas.
Pemilihan melalui DPRD membuat suara rakyat kurang terwakili.
Indonesia memilih jalan berbeda. Meski mahal, sistem pemilu langsung mencerminkan nilai-nilai demokrasi.
Dalam keberagamannya, setiap kelompok merasa didengar. Setiap suara memiliki tempat.
Namun, apakah keseimbangan ini cukup?
Mencari Keseimbangan
Tantangan terbesar Indonesia adalah menemukan titik tengah.
Bagaimana menekan biaya tanpa mengorbankan semangat demokrasi?
Bagaimana menjaga inklusivitas tanpa meninggalkan efisiensi?
Diamond (1999) menekankan bahwa keberhasilan demokrasi tidak hanya diukur dari efisiensi atau jumlah pemilih yang berpartisipasi.
Melainkan dari bagaimana demokrasi mampu menjamin bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, memiliki suara yang diakui dan dihargai.
Demokrasi yang baik, menurutnya, adalah demokrasi yang inklusif, di mana tidak ada kelompok yang merasa terpinggirkan, baik karena faktor ekonomi, sosial, maupun budaya.
Partisipasi rakyat menjadi kunci utama dalam mewujudkan demokrasi yang sehat.
Diamond percaya bahwa sistem demokrasi harus mampu menciptakan ruang bagi semua pihak untuk terlibat secara aktif dalam proses politik.
Tidak hanya melalui pemilu, tetapi juga dalam penyusunan kebijakan publik yang mencerminkan keberagaman aspirasi masyarakat. Demokrasi yang sukses adalah demokrasi yang mendengar suara kelompok minoritas, yang sering kali terabaikan dalam sistem politik mayoritarian.
Napas Bangsa
Demokrasi adalah napas bangsa ini.
Pemilu langsung adalah salah satu nadinya.
Meski mahal, ia adalah bentuk penghormatan terhadap suara rakyat.
Reformasi sistem pemilu memang perlu.
Namun, prinsip-prinsip demokrasi tak boleh dikorbankan.
Lijphart (1999) menegaskan bahwa demokrasi yang ideal adalah demokrasi yang memberi tempat bagi semua kelompok dalam masyarakat, termasuk mereka yang berada di posisi paling lemah atau terpinggirkan.
Sistem yang baik, menurutnya, adalah sistem yang tidak hanya mengakomodasi mayoritas, tetapi juga memperhatikan kebutuhan dan aspirasi minoritas, karena legitimasi demokrasi terletak pada kemampuannya menciptakan keadilan bagi semua pihak.
Dalam pandangannya, demokrasi inklusif membutuhkan mekanisme yang memungkinkan semua kelompok, termasuk yang kurang memiliki akses atau kekuatan politik, untuk berpartisipasi secara setara.
Ini bisa dicapai melalui representasi proporsional, desentralisasi kekuasaan, atau kebijakan afirmatif yang dirancang untuk melindungi hak-hak kelompok rentan.
Dengan cara ini, demokrasi tidak hanya menjadi alat untuk memilih pemimpin, tetapi juga menjadi sarana untuk memastikan keadilan sosial dan perlindungan terhadap kelompok-kelompok yang sering kali terabaikan.
Biaya demokrasi boleh tinggi. Namun, nilai dari suara rakyat jauh lebih mahal. Dan itu tak ternilai.
Sumber:
- Fukuyama, F. (2014). Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy. Farrar, Straus and Giroux.
- Diamond, L. (1999). Developing Democracy: Toward Consolidation. Johns Hopkins University Press.
- Lijphart, A. (1999). Patterns of Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries. Yale University Press.