Solok Selatan dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, termasuk cadangan emas yang melimpah.
Namun, di balik kekayaan itu, tambang emas ilegal menciptakan ancaman besar terhadap lingkungan dan masyarakat.
Dari penggundulan hutan hingga pencemaran air, dampak destruktif aktivitas ini memerlukan perhatian serius.
Kehilangan Habitat dan Erosi
Tambang emas ilegal kerap dimulai dengan penggundulan hutan.
Pohon-pohon yang ditebang untuk membuka lahan tambang memicu erosi tanah karena hilangnya akar-akar yang berfungsi menahan tanah.
Akibatnya, tanah menjadi lebih rentan terkikis saat hujan, mengakibatkan degradasi tanah yang masif.
Baca Sebelumnya:
Tambang Emas di Solok Selatan: Berkah atau Kutukan?
Kuasa di Balik Tambang Emas Ilegal Sumbar: Antara Emas dan Petaka
Selain itu, hilangnya vegetasi mengganggu habitat alami flora dan fauna, menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati.
Menurut penelitian oleh Laurance et al. (2014), deforestasi akibat aktivitas tambang berkontribusi signifikan terhadap hilangnya keanekaragaman hayati di kawasan tropis.
Pencemaran Air oleh Merkuri
Salah satu masalah paling serius dalam tambang emas ilegal adalah penggunaan merkuri.
Bahan kimia ini digunakan untuk memisahkan emas dari bijihnya, tetapi limbahnya sering dibuang langsung ke sungai seperti Batang Hari dan Batang Bangko.
Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP, 2018), lebih dari 37% emisi merkuri global berasal dari tambang emas skala kecil dan ilegal.
Merkuri dapat mencemari rantai makanan melalui bioakumulasi, yang berbahaya bagi manusia dan satwa liar.
Paparan merkuri yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan saraf dan kesehatan reproduksi.
Bagi masyarakat lokal yang mengandalkan sungai sebagai sumber air bersih dan makanan, risiko ini menjadi sangat nyata.
Ancaman Longsor dan Sedimentasi
Tambang ilegal sering kali dilakukan tanpa perencanaan geoteknik yang memadai.
Penggalian tanah secara besar-besaran menggunakan alat berat membuat struktur tanah menjadi tidak stabil.
Hujan deras yang sering terjadi di Solok Selatan memperburuk situasi, menyebabkan longsor yang merenggut nyawa.
Tragedi seperti yang terjadi di Nagari Abai pada Mei 2021, di mana delapan penambang hilang akibat longsor, menjadi bukti nyata ancaman ini.
Selain itu, material longsor yang terbawa ke sungai meningkatkan sedimentasi, mempersempit aliran sungai dan memicu banjir saat musim hujan.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tambang ilegal merupakan salah satu faktor utama meningkatnya risiko bencana geologis di wilayah Sumatera Barat.
Degradasi Tanah: Kehilangan Produktivitas Lahan
Proses penambangan yang merusak menyebabkan tanah kehilangan lapisan atas (topsoil) yang kaya nutrisi.
Tanpa topsoil, tanah menjadi tidak subur dan sulit untuk direstorasi.
Studi oleh Reij et al. (2011) menunjukkan bahwa degradasi tanah akibat aktivitas manusia seperti tambang dapat mengurangi produktivitas lahan hingga 50%, menciptakan tantangan besar bagi pertanian dan keberlanjutan pangan lokal.
Dampak pada Iklim Lokal
Hutan Solok Selatan berperan penting dalam menyerap karbon dioksida, salah satu gas rumah kaca utama.
Namun, penggundulan hutan akibat tambang ilegal mengurangi kemampuan ini, berkontribusi pada peningkatan emisi karbon.
Laporan dari Global Forest Watch (2023) mencatat bahwa kehilangan hutan tropis di Indonesia, termasuk Solok Selatan, berkontribusi pada emisi tahunan setara dengan lebih dari 50 juta ton karbon dioksida.
Upaya Restorasi: Tantangan Besar
Mengembalikan kondisi lingkungan bekas tambang ilegal adalah tugas yang rumit dan membutuhkan biaya besar.
Restorasi meliputi penanaman kembali vegetasi dan pengendalian pencemaran merkuri di tanah dan air.
Sebuah studi oleh MacDonald et al. (2016) menunjukkan bahwa pemulihan lahan bekas tambang dapat memakan waktu hingga 30 tahun, tergantung pada tingkat kerusakan dan ketersediaan sumber daya.
Tambang emas ilegal di Solok Selatan bukan hanya masalah ekonomi dan sosial tetapi juga ancaman serius terhadap lingkungan.
Dari penggundulan hutan hingga pencemaran air dan longsor, dampaknya merusak keseimbangan ekosistem dan mengancam keberlanjutan wilayah tersebut.
Langkah tegas diperlukan untuk menghentikan aktivitas ini, termasuk penegakan hukum yang lebih kuat, pemulihan lingkungan, dan edukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga sumber daya alam.
Solok Selatan, dengan kekayaan alamnya, harus dijaga agar tetap menjadi berkah, bukan kutukan bagi generasi mendatang.
Sumber:
- Auty, R. M. (1993). Sustaining Development in Mineral Economies: The Resource Curse Thesis. Oxford University Press.
- Laurance, W. F., et al. (2014). Deforestation and Biodiversity Loss in the Tropics. Biological Conservation.
- United Nations Environment Programme (2018). Global Mercury Assessment.
- Reij, C., et al. (2011). Restoring Degraded Lands. Science.
- BNPB. Laporan Bencana Geologis di Sumatera Barat.
- Global Forest Watch (2023). Forest Loss Report Indonesia.
- MacDonald, L. H., et al. (2016). Rehabilitation of Mine Sites: Global Challenges and Strategies. Journal of Environmental Management.