Site icon

Keadilan Global dalam Pidato Prabowo di KTT D-8

Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri KTT D-8 di Kairo, Mesir.

Presiden Prabowo Subianto saat menghadiri KTT D-8 di Kairo, Mesir.

Di KTT Ke-11 Developing Eight (D-8), Presiden Prabowo mengangkat isu besar.

Ia menyerukan agar negara-negara Muslim bersatu untuk menghadapi ketidakadilan global dan memperjuangkan hak-hak Palestina.

Pidato ini menarik perhatian karena Prabowo dengan berani menyoroti ketidakbersatuan dunia Muslim, serta pentingnya solidaritas dalam menghadapi ketimpangan internasional.

Apa yang disampaikan Prabowo sejalan dengan pandangan Thomas Pogge dalam World Poverty and Human Rights (2002).

Thomas Pogge menytakan bahwa ketidakadilan global adalah hasil dari sistem internasional yang tidak adil.

Teori Keadilan Global

Menurut Thomas Pogge, ketidaksetaraan global bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia.

Negara-negara kaya, melalui kebijakan luar negeri dan sistem perdagangan internasional, seringkali memperburuk keadaan negara-negara miskin.

Pogge berargumen bahwa sistem internasional yang ada sekarang membuat negara-negara miskin, termasuk negara-negara Muslim, tidak dapat memaksimalkan potensi mereka.

Negara-negara besar terus memegang kendali atas sumber daya global, sementara negara-negara miskin sering terpinggirkan.

Baca Juga: Solidaritas Dunia Muslim dalam Pidato Prabowo di KTT D-8

Pidato Prabowo mengangkat isu yang sama.

Ia mengkritik kebiasaan negara-negara Muslim yang hanya membuat deklarasi tanpa aksi nyata.

Padahal, negara-negara Muslim memiliki sumber daya alam yang melimpah.

Ketidakmampuan mereka untuk bersatu justru menghalangi mereka untuk memainkan peran penting dalam mengatasi ketidakadilan internasional.

Prabowo menekankan bahwa solidaritas adalah kunci untuk menghadapi masalah global seperti Palestina.

Hal ini sejalan dengan pandangan Pogge, yang berpendapat bahwa negara-negara berpengaruh harus bekerja sama untuk menciptakan sistem internasional yang lebih adil.

Solidaritas Dunia Muslim dan Tantangan Ketidakadilan Global

Pogge juga menyoroti bahwa negara-negara besar sering kali menggunakan strategi “Devide et Impera” (politik adu domba) untuk memperlemah posisi negara-negara berkembang.

Konflik-konflik internal di negara-negara seperti Sudan, Libya, dan Yaman yang disorot Prabowo dalam pidatonya adalah contoh nyata dari bagaimana strategi ini berfungsi.

Konflik-konflik ini memperburuk ketidaksetaraan dan menghalangi negara-negara Muslim untuk bersatu dan memperjuangkan kepentingan bersama di dunia internasional.

Dalam hal ini, solidaritas antar negara-negara Muslim adalah langkah yang sangat penting.

Dengan bersatu, mereka tidak hanya bisa memperjuangkan hak-hak Palestina, tetapi juga dapat membangun kekuatan kolektif yang memungkinkan mereka untuk memanfaatkan sumber daya alam dan pengaruh geopolitik mereka dengan lebih efektif.

Ini adalah cara untuk melawan ketidakadilan global dan memperbaiki ketimpangan dalam sistem internasional.

Kewajiban Moral Negara-negara Kaya

Pogge juga menekankan bahwa negara-negara kaya memiliki kewajiban moral untuk menciptakan keadilan global.

Ketidaksetaraan yang terjadi, menurut Pogge, bukan hanya akibat ketidakseimbangan ekonomi, tetapi juga karena kebijakan negara-negara besar yang mempertahankan status quo demi keuntungan mereka sendiri.

Kebijakan ini memperburuk kemiskinan dan ketidakadilan di negara-negara miskin.

Pidato Prabowo yang menyerukan persatuan negara-negara Muslim untuk mengatasi ketidakadilan global merupakan panggilan untuk menanggapi ketidakadilan struktural ini.

Negara-negara Muslim harus bekerja sama, memanfaatkan potensi besar mereka, baik dari sisi sumber daya alam maupun posisi geopolitik, untuk menciptakan dunia yang lebih adil.

Dengan solidaritas, negara-negara Muslim dapat memberikan dukungan nyata untuk perjuangan Palestina dan memperbaiki ketimpangan dalam sistem internasional.

Sumber:

  1. Pogge, Thomas W. World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities and Reforms. Polity Press, 2002.

 

Exit mobile version