Site icon

Kasus Hukum Said Didu: Fenomena Sosial di Balik Proyek PIK 2

Said Didu. Foto: X

Said Didu. Foto: X

Kasus hukum yang menjerat Said Didu menghebohkan ruang publik.

Kasus ini terkait dengan kritiknya terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) di Tangerang.

Di dunia maya, tagar #SaveSaidDidu semakin ramai.

Fenomena ini mencerminkan isu hak asasi manusia, keadilan sosial, dan pengaruh kekuasaan dalam kebijakan publik.

Polemik Pembangunan PIK 2 dalam Perspektif Keadilan Sosial

Proyek PIK 2 yang ditetapkan sebagai PSN pada Maret 2024 oleh Presiden Joko Widodo menimbulkan kontroversi, terutama terkait dampaknya pada masyarakat sekitar.

Said Didu, yang vokal mengkritik proyek ini, menyoroti rendahnya harga ganti rugi bagi warga yang terdampak.

Harga ganti rugi yang ditawarkan hanya Rp 25.000 hingga Rp 50.000 per meter, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Rp 250.000 per meter pada tahun 2017.

Dalam perspektif keadilan sosial, John Rawls (1971)  menyatakan  ketidakadilan terjadi ketika kebijakan negara lebih menguntungkan segelintir pihak dan mengorbankan kesejahteraan kelompok yang lebih besar.

Rawls mengusulkan prinsip difference principle yang mengharuskan kebijakan publik mendatangkan keuntungan lebih besar bagi mereka yang paling terpinggirkan.

Dalam konteks PIK 2, harga ganti rugi yang rendah melanggar prinsip keadilan distributif, yang mengatur agar keuntungan pembangunan dibagi secara merata.

Dampak Sosial Ekonomi dan Konflik Sosial

Selain masalah keadilan ekonomi, proyek ini juga memicu ketegangan sosial, seperti yang terjadi di Teluknaga pada pertengahan 2024.

Kerusuhan ini dipicu oleh kecelakaan truk proyek yang menyebabkan seorang anak terluka.

Insiden ini mengungkapkan bagaimana pembangunan besar yang tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat bisa memicu ketegangan dan konflik.

Teori konflik sosial Karl Marx (1867) menjelaskan ketegangan ini sebagai akibat ketimpangan kekuasaan antara kelas dominan (pemerintah dan pengembang) dan kelas terpinggirkan (warga yang terdampak).

Ketegangan ini memperlihatkan perbedaan dalam kepentingan dan kontrol terhadap sumber daya, yang dapat menyebabkan kerusuhan.

Masalah hak atas tanah sering kali menjadi sumber ketidakadilan sosial, dan hal ini terlihat jelas dalam proyek PIK 2.

Kekuasaan dan Politik dalam Pembangunan Nasional

Said Didu menekankan bahwa kritiknya bukan bertujuan menghalangi pembangunan, tetapi mempertanyakan ketidakadilan yang terjadi.

Mengapa rakyat harus dipaksa menerima ganti rugi yang tidak adil dan proyek yang meluas tanpa kejelasan?

Dalam konteks ini, teori kekuasaan Michel Foucault (1979) dalam Discipline and Punish menjadi relevan.

Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tersebar di berbagai institusi sosial dan mengontrol kehidupan masyarakat.

Proyek PIK 2 dapat dilihat sebagai bentuk kekuasaan yang mengarah pada kontrol terhadap sumber daya alam dan kehidupan sosial masyarakat.

Kriminalisasi dan Penyalahgunaan Wewenang

Kritik Said Didu berujung pada laporan hukum oleh Maskota, Kepala Desa Belimbing dan Ketua APDESI Kabupaten Tangerang, yang menuduh Said melanggar Pasal 28 Ayat 2 atau 3 UU ITE serta Pasal 310 dan 311 KUHP.

Tuduhan ini menunjukkan bagaimana kekuasaan bisa digunakan untuk mengkriminalisasi pihak yang mengkritik kebijakan negara.

Stanley Cohen (1972) dalam Folk Devils and Moral Panics menjelaskan bagaimana kritik terhadap kebijakan publik sering kali dipandang sebagai ancaman yang harus diberantas melalui aparat hukum.

Dukungan Masyarakat dan Media Sosial

Tagar #SaveSaidDidu dan dukungan masyarakat melalui media sosial mencerminkan dinamika sosial modern.

Media sosial kini menjadi arena perlawanan sosial, seperti yang dianalisis oleh Manuel Castells (2009) dalam Communication Power.

Melalui platform ini, masyarakat dapat menyuarakan ketidakpuasan terhadap kebijakan publik dan mendukung individu atau kelompok yang memperjuangkan keadilan.

Kesimpulan

Kasus Said Didu membuka banyak persoalan tentang kebijakan pembangunan yang kontroversial, ketidakadilan sosial, konflik kekuasaan, dan penyalahgunaan wewenang.

Dari perspektif ilmu sosial, kasus ini mengungkapkan pentingnya transparansi, keadilan distribusi sumber daya, dan perlindungan hak-hak masyarakat dalam setiap kebijakan publik.

Sebagaimana yang ditekankan oleh teori keadilan sosial dan teori konflik, pembangunan nasional tidak boleh mengorbankan kesejahteraan rakyat demi kepentingan sekelompok elit ekonomi dan politik.

Sumber:

  1. Rawls, John. A Theory of Justice. Harvard University Press, 1971.
  2. Marx, Karl. Das Kapital. 1867.
  3. Foucault, Michel. Discipline and Punish: The Birth of the Prison. Pantheon Books, 1979.
  4. Cohen, Stanley. Folk Devils and Moral Panics: The Creation of the Mods and Rockers. MacGibbon & Kee, 1972.
  5. Castells, Manuel. Communication Power. Oxford University Press, 2009.
Exit mobile version