Di Hari Pahlawan, tanah air berhenti sejenak dalam hening, mengenang para pahlawan yang telah rela mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan.
Namun, Hari Pahlawan bukan hanya sekadar momen untuk mengingat, melainkan seruan untuk menghidupkan semangat kepahlawanan di tengah realitas zaman.
Dalam keheningan ini, sastra muncul sebagai wujud yang lebih abadi, memanggil untuk membangun kesadaran sosial dan merawat perubahan.
Sastra, dengan segala bentuknya, adalah alat yang memampukan setiap jiwa untuk melihat, merasakan, dan beraksi.
Sastra, baik itu puisi, prosa, atau drama adalah cermin yang mencatat realitas kehidupan.
Ia merekam segala ketidakadilan, kemiskinan, dan permasalahan sosial yang sering terlupakan oleh pandangan umum.
Soedjatmoko, dalam pengamatannya, menyatakan bahwa Sastra adalah suara masa, dan suara itu harus didengar oleh generasi berikutnya (Soedjatmoko, 1985).
Sebuah kata yang terucap melalui pena, menggugah agar tidak ada yang buta terhadap penderitaan yang ada, agar tidak ada yang terlelap dalam ketidakpedulian.
Cerita Pilu yang Belum Terungkap
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2023, meski telah berpuluh tahun merdeka, kemiskinan masih membelit hampir 25,9 juta penduduk Indonesia, atau sekitar 9,54% dari total populasi (BPS, 2023).
Angka yang kerap dipandang sebelah mata, namun menyimpan cerita-cerita pilu yang belum terungkap.
Sastra hadir untuk menggugah kesadaran akan realitas ini.
Melalui narasi yang tak sekadar berusaha menggambarkan, tetapi juga mengajak untuk merasakan, sastra mampu menciptakan ruang bagi mereka yang terlupakan.
Seperti halnya dalam kisah Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, yang bukan hanya mengisahkan perjuangan anak-anak Belitung, tetapi juga menggugah hati tentang pentingnya pendidikan sebagai jalan keluar dari keterbatasan (Hirata, 2005).
Sebuah karya yang tak hanya menyentuh, tetapi menginspirasi semangat.
Sastra memiliki kekuatan untuk menyentuh empati.
Setiap kalimat yang terangkai, setiap kisah yang terukir, adalah undangan untuk berjalan bersama, merasakan apa yang dirasakan tokoh-tokoh dalam cerita.
Novel seperti Laskar Pelangi tidak sekadar cerita anak-anak yang gigih melawan nasib, namun lebih dari itu, ia menanamkan pemahaman bahwa pendidikan adalah benih yang bisa menumbuhkan perubahan.
Karya seperti ini menuntun pembaca untuk lebih peduli, untuk tidak sekadar menyaksikan penderitaan, tetapi bertindak, ikut serta dalam perubahan yang lebih baik.
Sastra Bukan Sekadar Hiburan
Survei dari Yayasan Pendidikan Indonesia mencatat bahwa 80% responden merasa terdorong untuk berkontribusi pada dunia pendidikan setelah membaca karya-karya yang menyentuh masalah sosial (Yayasan Pendidikan Indonesia, 2023).
Sastra bukan hanya memberi hiburan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran sosial yang mendalam, menggerakkan langkah untuk berbuat lebih baik.
Dalam setiap kata yang terucap, ada harapan yang menanti untuk diwujudkan.
Mahasiswa sastra, dengan pikiran yang tajam dan hati yang peka, memegang peran penting dalam melanjutkan tradisi sastra sebagai pendorong perubahan sosial.
Mereka tidak hanya menggali teori sastra, tetapi juga terlibat dalam praktik menulis untuk menegaskan suara-suara yang seringkali tenggelam.
Melalui karya-karya yang mereka ciptakan, suara rakyat yang terpinggirkan bisa mendunia.
Di ruang-ruang kreativitas seperti workshop dan seminar literasi, mahasiswa mengasah kemampuan untuk menulis karya yang bukan hanya bernilai estetis, tetapi juga bernilai sosial.
Di berbagai universitas, lomba penulisan cerpen atau puisi dengan tema sosial menjadi ajang bagi mahasiswa untuk merangkai kata yang mampu menggugah kesadaran.
Sastra, dalam hal ini, bukan sekadar prestasi akademik, tetapi sebuah senjata untuk menyuarakan kebenaran.
Sastra Bentuk Aktivisme yang Kuat
Sejarah membuktikan bahwa sastra dapat menjadi bentuk aktivisme yang kuat.
WS Rendra dan Sapardi Djoko Damono adalah contoh bagaimana puisi dapat mengkritik keadaan sosial dan politik dengan kata-kata yang begitu padu dan menggugah (Rendra, 1975; Damono, 1985).
Puisi mereka adalah nyala yang membakar, menuntut perhatian akan ketidakadilan yang ada.
Di era digital ini, dunia sastra mendapatkan ruang yang lebih luas.
Media sosial dan blog menjadi platform yang memungkinkan karya sastra menyebar lebih cepat, menjangkau khalayak yang lebih luas.
Pew Research Center melaporkan bahwa lebih dari 70% orang dewasa di Indonesia aktif menggunakan media sosial, menjadikannya saluran efektif untuk menyebarkan pesan-pesan sosial yang terkandung dalam sastra (Pew Research Center, 2023).
Setiap status, setiap unggahan, bisa menjadi saluran bagi suara yang tak terdengar, menjadi api yang membakar semangat perubahan.
Sastra juga menyatukan dalam sebuah komunitas.
Komunitas sastra yang tumbuh subur di Indonesia, dengan lebih dari 500 komunitas yang aktif, memainkan peran penting dalam menggerakkan kesadaran sosial (Komunitas Sastra Indonesia, 2023).
Komunitas ini bukan hanya sekumpulan orang yang menyukai sastra, tetapi ruang bagi mereka untuk berdiskusi, bertukar pandangan, dan menggalang aksi sosial.
Di sana, setiap kata adalah langkah untuk menyebarkan pemahaman dan membangun kesadaran yang lebih dalam.
Sastra lebih dari sekadar catatan sejarah atau hiburan belaka.
Agen Perubahan di Hari Pahlawan
Ia adalah agen perubahan, pemangku harapan yang dapat mempengaruhi cara pandang dan mendorong aksi nyata.
Melalui karya-karya sastra, kita bisa menggerakkan masyarakat untuk lebih peduli, untuk berempati, dan untuk bertindak.
Mahasiswa sastra, dengan segala kemampuan dan kreativitasnya, memegang tanggung jawab untuk memastikan bahwa sastra tetap menjadi pelita yang menerangi jalan perubahan.
Hari Pahlawan adalah pengingat bahwa pahlawan tidak hanya ada dalam sejarah.
Pahlawan ada di antara kita, dalam setiap tindakan kecil yang mampu mengubah dunia.
Sastra, dengan segala kekuatannya, adalah bentuk perjuangan baru. Inilah saatnya untuk mewujudkan semangat kepahlawanan, tidak hanya dalam kata-kata, tetapi dalam karya-karya yang memberi dampak, yang menggerakkan hati dan pikiran menuju dunia yang lebih baik.
Penulis: Ariqa Luthfiya, Mahasiswi Sastra Inggris Universitas Negeri Padang
Sumber:
- BPS (Badan Pusat Statistik). (2023). Statistik Kemiskinan Indonesia. Jakarta: BPS.
- Damono, S. (1985). Puisi Indonesia Modern: Kajian Estetika dan Sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
- Hirata, A. (2005). Laskar Pelangi. Jakarta: Bentang Pustaka.
- Komunitas Sastra Indonesia. (2023). Komunitas Sastra di Indonesia: Aktivitas dan Peranannya. Jakarta: KSI.
- Pew Research Center. (2023). Social Media Usage in Indonesia. Washington, D.C.: Pew Research Center.
- Rendra, W. S. (1975). Puisi-puisi Sosial Politik. Yogyakarta: Gramedia.
- Soedjatmoko. (1985). Sastra dan Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
- Yayasan Pendidikan Indonesia. (2023). Survei Literasi Pendidikan. Jakarta: YPI.
More Stories
Da’i dalam Politik Menghadirkan Dakwah atau Ambisi?
Janji Manis Kampanye Politik di Era Digital
Suara Generasi Muda dalam Pemilu 2024