COP29 yang diadakan di Baku, Azerbaijan, terasa berbeda kali ini.
Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang sering kali menjadi harapan banyak orang: kehadiran para pemimpin dunia.
Beberapa tokoh besar yang biasanya menjadi ujung tombak kebijakan internasional justru absen.
Ketidakhadiran mereka menimbulkan banyak pertanyaan tentang seberapa serius komitmen dunia terhadap perubahan iklim yang semakin mendesak.
Sebagai konferensi internasional yang sangat penting, COP29 seharusnya menjadi ajang untuk menunjukkan keseriusan dunia dalam menghadapi krisis yang mengancam masa depan umat manusia.
Namun, absennya pemimpin-pemimpin besar ini justru menimbulkan keraguan.
Apakah hasil COP29 akan benar-benar membawa perubahan?
Apakah komitmen global terhadap krisis iklim hanya sekadar wacana?
Absennya Pemimpin Dunia di COP29: Apa Arti Semua Ini?
Beberapa pemimpin besar, seperti Presiden AS Joe Biden dan Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva, memilih untuk tidak hadir.
Biden sibuk dengan urusan pemilu, sementara Lula absen karena cedera.
Tanpa kehadiran mereka, COP29 terasa kehilangan salah satu kekuatan politiknya.
Kepemimpinan politik yang mereka miliki seharusnya bisa memberi arah yang jelas dalam upaya global mengatasi perubahan iklim.
Tanpa mereka, muncul pertanyaan besar: sejauh mana komitmen terhadap isu ini akan bertahan jika pemimpin dunia besar saja tidak hadir?
Penelitian tentang kebijakan internasional menunjukkan bahwa kehadiran para pemimpin negara sangat penting dalam mengamankan komitmen politik yang kuat dan memengaruhi implementasi kebijakan secara global (Keohane, 1984).
Tanpa dukungan pemimpin-pemimpin utama ini, banyak yang khawatir bahwa keputusan yang diambil di COP29 akan kehilangan daya dorong yang dibutuhkan.
Namun, ada sisi positif dalam ketidakhadiran mereka.
Negara-negara yang paling terdampak perubahan iklim, seperti Zimbabwe, Tanzania, dan Maladewa, mulai lebih bersuara.
Pemimpin-pemimpin mereka berbicara tentang realitas perubahan iklim yang mereka hadapi setiap hari.
Suara mereka membawa kisah tentang kekeringan yang menghancurkan kehidupan di Zimbabwe, kerugian ekonomi besar di Tanzania, dan ancaman tenggelam yang dihadapi Maladewa.
Kisah-kisah ini mengingatkan dunia akan dampak nyata dari krisis iklim yang selama ini sering kali terabaikan.
Pendanaan Iklim: Harapan yang Terus Menggantung
Bagi negara-negara berkembang, COP29 merupakan momen penting untuk menuntut pendanaan iklim yang lebih besar.
Negara-negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti negara-negara kepulauan kecil dan wilayah yang dilanda kekeringan, sangat membutuhkan bantuan untuk beradaptasi.
Namun, ketidakpastian besar menghinggapi harapan mereka.
Salah satunya adalah kemungkinan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih, yang pernah menarik AS keluar dari Perjanjian Iklim Paris.
Langkah tersebut memicu keraguan mengenai komitmen jangka panjang AS terhadap pendanaan iklim.
Ketika negara besar seperti AS memiliki ketidakpastian politik, keberlanjutan pendanaan menjadi pertanyaan besar.
Tanpa stabilitas dalam pendanaan dari negara-negara maju, target pendanaan sebesar 1 triliun dolar AS per tahun pada 2030 bisa jadi hanya sebuah angan-angan.
Negara-negara maju sendiri, seperti yang terlihat dalam negosiasi selama COP29, kini juga meminta negara-negara penghasil polusi terbesar, seperti Tiongkok dan Uni Emirat Arab, untuk turut menyumbang dalam pendanaan iklim.
Namun, ini memperburuk dilema negara-negara berkembang yang sangat membutuhkan dana tersebut.
Di satu sisi, mereka harus menuntut lebih banyak, tetapi di sisi lain, mereka harus berhati-hati agar permintaan ini tidak menciptakan ketegangan dengan negara-negara besar yang juga merupakan mitra ekonomi penting.
Pasar Karbon: Sebuah Langkah Kecil Menuju Solusi
Di tengah berbagai tantangan besar yang harus dihadapi, ada satu pencapaian yang patut diacungi jempol dari COP29: kesepakatan mengenai aturan pasar karbon internasional.
Setelah lebih dari satu dekade penuh perdebatan, aturan ini akhirnya disepakati. Ini merupakan langkah kecil, namun penting, dalam upaya global mengurangi emisi karbon.
Menurut Grubb (2014), pasar karbon internasional bisa menjadi mekanisme penting dalam mendorong pengurangan emisi, meskipun masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Meskipun ini adalah langkah positif, masih banyak hal yang harus dilakukan agar pasar karbon bisa berfungsi sebagai solusi efektif.
Tanpa pendanaan yang memadai dan regulasi yang adil, negara-negara berkembang akan kesulitan memanfaatkan pasar karbon secara maksimal.
Harapan di Masa Depan: COP30 di Brasil
Meski COP29 menyisakan banyak kekhawatiran, harapan kini beralih ke COP30 yang akan digelar di Brasil.
Banyak yang berharap konferensi ini akan menjadi titik balik dalam upaya global mengatasi krisis iklim.
Di Brasil, para pemimpin dunia diharapkan dapat memperkuat komitmen mereka dalam hal pendanaan dan aksi nyata, terutama dari negara-negara penghasil emisi terbesar.
Seperti yang dijelaskan oleh Lachapelle et al. (2013), konferensi internasional seperti COP dapat menjadi momen yang menentukan dalam memperkuat kebijakan iklim global, jika didorong oleh aksi nyata.
COP30 bisa menjadi peluang bagi dunia untuk melangkah lebih jauh dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak.
Di tengah ketidakpastian ini, satu hal yang jelas: krisis iklim semakin nyata.
COP30 mungkin menjadi momen penentu, apakah dunia benar-benar siap mengatasi ancaman perubahan iklim atau hanya berputar-putar dalam janji tanpa tindakan konkret.
Sumber:
- Grubb, M. (2014). The global carbon market: Why carbon pricing is essential for mitigating climate change. The Oxford Handbook of the Economics of Climate Change.
- Keohane, R. O. (1984). After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy. Princeton University Press.
- Lachapelle, E., et al. (2013). The Role of Public Policy in Climate Change Mitigation: A Comparative Study of Major Economies. Environment and Planning C: Politics and Space.