COP29 di Baku, Azerbaijan, terasa berbeda.
Banyak pemimpin dunia absen dari pertemuan penting ini.
Ketidakhadiran mereka membuat banyak orang bertanya-tanya: seberapa serius komitmen global terhadap perubahan iklim?
Konferensi ini seperti memperlihatkan keraguan, di saat dunia justru membutuhkan kepastian.
Tindakan nyata untuk menghadapi krisis lingkungan semakin mendesak, namun absennya pemimpin utama menimbulkan kekhawatiran akan arah keputusan.
Ketidakhadiran Pemimpin Utama: Dampak terhadap Komitmen Global
Beberapa pemimpin besar absen di COP29.
Presiden AS Joe Biden sibuk dengan pemilu. Presiden Brasil Lula da Silva juga tak hadir karena cedera.
Ketidakhadiran mereka terasa berat bagi konferensi ini.
Tanpa kehadiran mereka, komitmen politik terlihat lemah.
Banyak yang mempertanyakan apakah hasil COP29 akan benar-benar membawa dampak nyata.
Para diplomat iklim pun khawatir. Tanpa dukungan para pemimpin utama, kesepakatan yang ada mungkin tak cukup kuat.
Namun, absennya tokoh-tokoh besar justru memberi ruang bagi negara yang paling terdampak.
Di podium, pemimpin Zimbabwe, Tanzania, dan Maladewa tampil berbagi kisah krisis iklim yang mereka alami.
Presiden Zimbabwe, Emmerson Mnangagwa, bercerita tentang kekeringan yang menghancurkan negaranya.
Wakil Presiden Tanzania, Philip Mpango, menjelaskan bahwa perubahan iklim merusak hingga 2-3% PDB negaranya setiap tahun.
Suara mereka menyampaikan kenyataan tentang krisis iklim yang sudah mereka hadapi setiap hari.
Pendanaan Iklim: Harapan yang Tergantung pada Kesepakatan
Bagi negara berkembang, COP29 adalah kesempatan penting untuk menuntut pendanaan iklim yang lebih besar.
Mereka berharap bantuan bisa meningkat menjadi lebih dari 1 triliun dolar AS per tahun pada 2030.
Dana ini sangat dibutuhkan untuk melindungi negara-negara rentan, seperti kepulauan kecil yang terancam tenggelam dan wilayah Afrika yang dilanda kekeringan.
Namun, ada ketidakpastian besar. Kemungkinan kembalinya Donald Trump sebagai Presiden AS memperumit situasi.
Di masa lalu, Trump menarik AS keluar dari Perjanjian Iklim Paris, dan hal ini menimbulkan keraguan akan komitmen AS di masa depan.
Jika pendanaan dari negara besar seperti AS tak stabil, target 1 triliun dolar AS bisa jadi hanya harapan belaka.
Tantangan Pendanaan yang Belum Terpecahkan
Pendanaan iklim tetap menjadi prioritas bagi negara berkembang, dengan target ambisius 1,3 triliun dolar AS per tahun.
Namun, negara-negara maju kini meminta agar negara besar penghasil polusi, seperti Tiongkok dan Uni Emirat Arab, ikut menyumbang.
Hal ini menambah beban negosiasi bagi negara berkembang, yang perlu menjaga hubungan baik dengan negara-negara besar ini sebagai mitra ekonomi penting.
Negara-negara Afrika menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka sangat memerlukan dana untuk menghadapi dampak perubahan iklim.
Di sisi lain, mereka harus berhati-hati agar tuntutan ini tidak memicu gesekan dengan negara-negara besar yang berpengaruh.
Pencapaian di Tengah Kekosongan: Pasar Karbon Internasional
Meskipun tantangan besar terus menghadang, salah satu pencapaian yang dapat dibanggakan dari COP29 adalah kesepakatan tentang aturan pasar karbon internasional.
Setelah lebih dari satu dekade perdebatan, aturan ini akhirnya disepakati untuk menjaga integritas pasar karbon global dan mendorong permintaan kredit karbon.
Dengan kesepakatan ini, ada harapan pasar karbon dapat berfungsi sebagai solusi tambahan dalam pengurangan emisi global.
Namun, masih banyak yang harus dilakukan. Kesepakatan ini hanya langkah awal; masih ada isu besar seperti pendanaan iklim yang perlu dukungan nyata dari negara-negara kaya.
Tanpa dana yang cukup, negara-negara berkembang sulit beradaptasi dan memperkuat ketahanan mereka terhadap dampak perubahan iklim.
Tuan Rumah Azerbaijan: Antara Janji dan Kontroversi
Azerbaijan, yang menjadi tuan rumah COP29, tak luput dari sorotan.
Negara ini dikritik karena berencana meningkatkan produksi gas dalam sepuluh tahun ke depan.
Padahal tujuan konferensi ini adalah mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Langkah Azerbaijan dianggap bertentangan dengan semangat COP29 untuk mencari energi terbarukan.
Kontroversi juga datang dari catatan buruk Azerbaijan dalam hak asasi manusia.
Banyak pihak mempertanyakan, apakah negara dengan masalah hak asasi manusia bisa menjadi tuan rumah yang tepat untuk konferensi iklim global.
Meski menuai kritik, COP29 tetap berlangsung dengan tujuan mencari solusi atas krisis iklim yang semakin mendesak.
Harapan Tertuju pada COP30 di Brasil
Meski COP29 menyisakan banyak tantangan, harapan kini tertuju pada COP30 yang akan digelar di Brasil.
Diharapkan, pertemuan di Brasil ini akan menjadi titik balik dalam upaya global mengatasi krisis iklim.
Banyak pihak melihat COP30 sebagai kesempatan untuk memperkuat komitmen, terutama dalam hal pendanaan dan aksi nyata dari negara-negara penghasil emisi terbesar.
Hingga saat itu, masyarakat global akan terus menantikan tindakan konkret dari para pemimpin dunia.
Krisis iklim semakin nyata, dan COP30 mungkin menjadi momen penentu, apakah komitmen global benar-benar bisa mengatasi ancaman ini.
Sumber: