Agama dan budaya adalah dua unsur utama yang membentuk karakter suatu daerah.
Kebudayaan, menurut Friedrich Nietzsche, adalah “insting alami” yang mendorong perkembangan diri manusia secara optimal.
Bagi Nietzsche, kebudayaan bukan hanya hasil kreativitas, tapi juga sebuah warisan turun-temurun yang terjaga dalam kehidupan sosial masyarakat (Nietzsche, 1872).
Di Sumatera Barat, khususnya Minangkabau, budaya dan agama telah menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Filosofi “Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah” menggambarkan bagaimana adat Minangkabau didasari oleh nilai-nilai Islam (Abdullah, 2015).
Komunikasi Dakwah dalam Budaya Minangkabau
Masyarakat Minangkabau menganggap budaya dan agama sebagai fondasi utama dalam interaksi sosial.
Salah satu bentuk kearifan lokal Minangkabau dalam berkomunikasi adalah konsep “kato nan ampek”.
Ini bukan sekadar panduan dalam berbicara, tetapi juga sebuah alat dakwah yang mengajarkan kesopanan, penghormatan, dan kesantunan.
Dengan kato nan ampek, orang Minangkabau belajar menghargai lawan bicara dan menyampaikan pesan dengan cara yang lembut.
Dalam dakwah Islam, metode ini sangat penting, karena komunikasi yang baik bukan hanya soal isi pesan, tetapi juga bagaimana penyampaiannya.
Prinsip-prinsip seperti qaulan sadida (ucapan yang benar), qaulan layyina (ucapan lembut), qaulan baligha (ucapan efektif), dan qaulan ma’rufa (ucapan yang baik) menjadi panduan utama komunikasi dakwah yang etis dan penuh hormat (Aslan, 2019).
Kato Nan Ampek: Pedoman Komunikasi dan Dakwah
Kato nan ampek adalah lebih dari sekadar aturan berbahasa.
Di dalamnya terdapat nilai kesantunan, penghormatan, dan kebijaksanaan yang selaras dengan etika komunikasi dalam Islam.
Dalam konsep ini, komunikasi bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menjaga keharmonisan sosial.
Berikut adalah empat jenis komunikasi dalam kato nan ampek:
1. Kato Mandaki (Kata Menanjak)
Digunakan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua, misalnya anak kepada orang tua atau murid kepada guru.
Gaya ini menunjukkan penghormatan yang tinggi, sesuai dengan qaulan ma’rufa, komunikasi dengan rasa hormat dan empati.
2. Kato Manurun (Kata Menurun)
Dipakai oleh orang yang lebih tua kepada yang lebih muda, seperti orang tua kepada anak atau guru kepada murid.
Gaya ini tetap mengutamakan kesopanan dan empati, sejalan dengan prinsip qaulan layyina yang mengutamakan kelembutan.
3. Kato Malereang (Kata Melereng)
Digunakan untuk orang yang disegani, seperti mertua kepada menantu.
Bahasa kiasan sering digunakan di sini untuk menjaga kesantunan.
Ini mencerminkan qaulan baligha, yaitu penyampaian pesan secara efektif dan tepat sasaran.
4. Kato Mandata (Kata Mendatar)
Dipakai di antara teman sebaya atau rekan kerja.
Gaya ini lebih bebas, tetapi tetap menjunjung kesopanan.
Kato mandata sejalan dengan qaulan sadida, yang berarti komunikasi yang jujur dan tidak berlebihan (Naim, 2016).
Konsep kato nan ampek ini membantu masyarakat Minangkabau menyampaikan dakwah Islam dengan cara yang lembut dan penuh kedamaian.
Setiap jenis komunikasi ini membantu menjaga hubungan sosial dan memastikan bahwa pesan dakwah diterima dengan baik oleh semua lapisan masyarakat.
Kato Nan Ampek sebagai Dakwah Inklusif
Dakwah Islam yang efektif tidak hanya bergantung pada isi pesan, tetapi juga pada cara penyampaiannya.
Kato nan ampek adalah salah satu contoh pendekatan dakwah yang mengutamakan kearifan lokal.
Pendekatan ini mengajarkan bahwa dakwah yang baik adalah dakwah yang menghargai budaya setempat.
Dengan kato nan ampek, pesan dakwah disampaikan secara inklusif dan menyentuh hati.
Tradisi ini juga menghormati identitas sosial budaya Minangkabau (Effendy, 2018).
Melalui dakwah yang lembut dan menghargai tradisi, Islam dipahami sebagai agama yang ramah dan beradaptasi dengan kebudayaan setempat tanpa kehilangan identitas.
Pendekatan ini menguatkan bahwa dakwah yang sukses adalah dakwah yang mampu menyentuh emosi, budaya, dan logika masyarakat secara harmonis (Oktavianus, 2020).
Sumber:
- Nietzsche, F. (1872). The Birth of Tragedy. New York: Dover Publications.
- Abdullah, T. (2015). Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah: Kajian Adat Minangkabau. Jurnal Budaya dan Agama, 3(2), 123-130.
- Naim, M. (2016). Kato Nan Ampek: Nilai Filosofis dalam Komunikasi Minangkabau. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 5(1), 45-56.
- Aslan, M. (2019). Komunikasi dalam Islam. Jakarta: Penerbit Islamiyah.
- Oktavianus, H. (2020). Interaksi Sosial Masyarakat Minangkabau. Jurnal Sosial Budaya Minang, 2(4), 70-85.
- Suryadi, A. (2017). Sistem Kato Nan Ampek sebagai Warisan Budaya Komunikasi. Jurnal Kebudayaan Nusantara, 10(2), 93-100.
- Effendy, H. (2018). Dakwah Berbasis Kearifan Lokal. Bandung: Alfabeta.
- Ismail, F. (2020). Dakwah dan Kearifan Lokal: Integrasi Nilai Islam dalam Budaya Minang. Jurnal Dakwah Nusantara, 7(3), 56-72.
Penulis:
Penulis adalah Tomi Hendra, Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sjech M Djamil Djambek, Bukittinggi