23 December 2024

Setiap fakta menyimpan pelajaran, setiap peristiwa membuka cakrawala. DosenVirtual.com

Beranda » Blog » Negara Butuh Uang, Kenapa Tidak dari Sektor yang Abu-Abu?

Negara Butuh Uang, Kenapa Tidak dari Sektor yang Abu-Abu?

Ilustrasi Pajak. Foto: Serikat Pekerja Nasional

Ilustrasi Pajak. Foto: Serikat Pekerja Nasional

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mencerminkan langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara.

Namun, apakah ini satu-satunya solusi? Ada alternatif lain yang dapat dipertimbangkan, meskipun saat ini terasa kurang ideal.

Sebenarnya ada cara lain untuk mendongkrak penerimaan pajak, yakni meningkatkan penghasilan per kapita dengan menetapkan standar Upah Minimum baru.

Namun, langkah ini belum memungkinkan jika tidak diimbangi dengan pendapatan sektor swasta yang sehat.

Pascapandemi COVID-19, banyak perusahaan masih terpuruk.

Beberapa di antaranya gulung tikar, digugat pailit melalui PKPU, atau terpaksa mem-PHK karyawan demi bertahan hidup.

Kasus SRITEX, salah satu raksasa tekstil yang menghadapi kebangkrutan dan merumahkan sebagian besar karyawannya, menjadi contoh nyata.

Dalam situasi ini, menaikkan upah minimum secara tiba-tiba justru bisa memperburuk kondisi ekonomi.

Baca Juga: Menyelami Kebangkrutan Sritex dari Perspektif Statistik

Pajak Sebagai Pilar Utama

Pajak menjadi instrumen utama untuk membiayai kebutuhan negara, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Selain itu, pajak juga berfungsi sebagai mekanisme redistribusi kekayaan, memindahkan dana dari pihak berpenghasilan besar ke mereka yang membutuhkan.

Jika dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah yang kaya sumber daya alam, Indonesia masih sangat bergantung pada pajak sebagai penopang utama pengeluaran negara.

Negara-negara tersebut mampu memanfaatkan sumber pendapatan alternatif di luar pajak.

Fenomena Konsumsi yang Kontradiktif

Meskipun daya beli masyarakat sering dikabarkan menurun, fakta di lapangan menunjukkan fenomena sebaliknya.

Penjualan tiket konser dan pre-order iPhone, misalnya, tetap laris manis.

Fenomena ini diperkuat oleh doom spending, gaya konsumsi impulsif Gen Z,  yang bertolak belakang dengan pemberitaan mengenai penurunan daya beli.

Selain itu, judi online (judol) menjadi aktivitas yang signifikan.

Dengan perputaran uang mencapai Rp283 triliun, masyarakat tampaknya rela mengalokasikan uang untuk kebutuhan tidak produktif, sambil berharap bantuan sosial atau subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan pokok mereka.

Potensi dari Ekonomi Tersembunyi

Underground Economy

Underground economy mencakup kegiatan ekonomi, baik legal maupun ilegal, yang tidak tercatat dalam Produk Domestik Bruto (PDB).

Aktivitas ini menciptakan bias dalam nilai PDB karena tidak dikenakan pajak, sehingga berpotensi merugikan negara.

Judi online adalah salah satu contohnya.

Sebagai bagian dari underground economy, aktivitas ini beroperasi tanpa pengawasan pemerintah, sering kali berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia.

Ketika masyarakat mengalokasikan uangnya untuk judi, daya beli terhadap kebutuhan pokok menurun, dan transaksi ekonomi formal menjadi lesu.

Menghapus aktivitas ini dapat membantu mengarahkan pengeluaran masyarakat ke kebutuhan yang lebih produktif, meskipun pelaku underground economy cenderung sulit dilacak.

Shadow Economy

Sering kali disamakan dengan underground economy, shadow economy mencakup aktivitas ekonomi legal yang sengaja disembunyikan dari otoritas, seperti sektor informal atau pinjaman online (pinjol).

Potensi shadow economy di Indonesia diperkirakan mencapai 8,3–10% dari PDB menurut PPATK.

Fenomena pinjol membuka tabir bagaimana beberapa masyarakat mampu membiayai konsumsi di luar kemampuan finansialnya.

Pengeluaran impulsif seperti membeli iPhone atau tiket konser kerap didanai oleh utang, yang dapat membawa dampak negatif dalam jangka panjang.

Dilema Pajak untuk Ekonomi Abu-Abu

Menggali potensi pajak dari underground economy dan shadow economy memang menjanjikan.

Namun, ada dilema besar: apakah pantas aktivitas ini dijadikan sumber penerimaan negara?

Jika pemerintah memajaki aktivitas ini, ada kekhawatiran bahwa langkah tersebut dianggap melegalkan aktivitas ilegal.

DPR sendiri belum memiliki sikap tegas, mengakui bahwa hal ini berpotensi menjadi kontroversi besar.

Dari perspektif agama, judi dan pinjol sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, sehingga kurang relevan dijadikan sumber pendapatan negara.

Pilihan Sulit di Tengah Krisis

Kenaikan PPN menjadi langkah pragmatis di tengah keterbatasan alternatif penerimaan negara.

Namun, pemerintah perlu mempertimbangkan:

  1. Optimalisasi pajak sektor formal, misalnya melalui pengawasan yang lebih ketat.
  2. Peningkatan literasi keuangan masyarakat, agar konsumsi lebih produktif.
  3. Penegakan hukum terhadap aktivitas ilegal, seperti judi online, untuk mengarahkan alokasi dana masyarakat ke sektor resmi.

Mengandalkan sektor abu-abu sebagai sumber pendapatan mungkin tampak menarik, tetapi risiko sosial, moral, dan etik yang ditimbulkannya membuat langkah ini harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.

Penulis:
Fryandi Manulang, Mahasiswa Universitas Pamulang