23 December 2024

Setiap fakta menyimpan pelajaran, setiap peristiwa membuka cakrawala. DosenVirtual.com

Beranda » Blog » Kritik Said Didu pada PIK 2 dan Implikasinya bagi Hak Rakyat

Kritik Said Didu pada PIK 2 dan Implikasinya bagi Hak Rakyat

Said Didu

Said Didu

Said Didu terjerat kasus hukum akibat kritiknya terhadap Proyek Strategis Nasional (PSN) Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) di Tagerang.

Jeratan ini perlu dianalisis lebih dalam.

Apalagi kritik yang dilontarkan Said Didu terkait pelanggaran HAM, kebijakan publik, dan penyalahgunaan wewenang pada proyek PIK 2.

Kritik Said Didu Terhadap PSN PIK 2

Said Didu memang dikenal vokal dalam membela hak rakyat kecil.

Pada kasus PSN PIK 2, sudah enam bulan Said Didu melontarkan kritik membela hak rakyat yang terkena dampak.

PIK 2 ditetapkan sebagai PSN pada Maret 2024 oleh Presiden Joko Widodo.

Keputusan itu menimbulkan kontroversi, terutama terkait rendahnya harga ganti rugi yang ditawarkan kepada warga.

Teori Just Compensation yang dijelaskan John Locke dalam Two Treatises of Government menjelaskan pemindahan properti oleh negara harus disertai dengan kompensasi yang adil.

Dalam kasus PIK 2, ganti rugi malah jauh lebih rendah.

Harga ganti rugi yang ditetapkan berkisar Rp 25 ribu sampai Rp 50 ribu per meter persegi.

Nilai ini anjlok drastis dari ganti rugi pada tahun 2017 yang mencapai Rp 250 ribu per meter.

Hal ini bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip keadilan dalam hukum properti.

Dampak Pembangunan PIK 2

Sejak ditetapkan sebagai PSN, proyek ini memicu berbagai masalah sosial dan ekonomi.

Salah satu isu utama adalah konflik lahan dan pemiskinan warga yang harus melepaskan tanah mereka.

Pembangunan ini telah memperluas wilayah proyek dari dua kecamatan menjadi sembilan kecamatan, yang mengarah pada perampasan lahan secara paksa.

Dalam kajian hukum, perampasan lahan dapat dikategorikan sebagai expropriation atau pengambilalihan tanah secara paksa oleh negara.

Pengambilalihan tanah ini harus memenuhi prinsip public purpose (tujuan publik) yang telah diatur dalam hukum internasional dan nasional.

Namun, dalam banyak kasus, pengambilalihan tanah sering kali tidak memenuhi syarat tersebut atau dilakukan dengan cara yang tidak transparan, yang berpotensi merugikan warga.

Selain itu, ketegangan sosial yang muncul, termasuk kerusuhan di Teluknaga yang dipicu oleh kecelakaan truk proyek, menunjukkan adanya kegagalan dalam merancang kebijakan pembangunan yang memperhatikan hak-hak dasar warga.

Dalam hal ini, proyek yang tidak mempertimbangkan keselamatan dan keamanan warga dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban negara untuk melindungi warga negara dari bahaya yang disebabkan oleh kebijakan publik, sebagaimana diatur dalam hukum internasional tentang hak asasi manusia.

Kasus Hukum dan Laporan Maskota

Said Didu menghadapi laporan hukum terkait kritiknya terhadap proyek PIK 2.

Maskota, Kepala Desa Belimbing dan Ketua Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia (APDESI) Kabupaten Tangerang, melaporkan Said Didu dengan tuduhan melanggar Pasal 28 Ayat 2 dan 3 UU ITE serta Pasal 310 dan 311 KUHP.

Tuduhan ini menunjukkan potensi penyalahgunaan wewenang dalam menanggapi kritik terhadap kebijakan publik.

Dalam perspektif hukum pidana, hal ini berkaitan dengan kriminalisasi kritik terhadap kebijakan publik, yang sering terjadi dalam sistem hukum yang tidak sepenuhnya menjamin kebebasan berpendapat.

Hal ini sejalan dengan teori Criminalization yang dikembangkan oleh Stanley Cohen dalam Folk Devils and Moral Panics.

Dia menjelaskan bagaimana kritik terhadap kebijakan publik sering kali dipandang sebagai ancaman yang harus diberantas dengan menggunakan aparat hukum.

Perjuangan Said Didu dan Dukungan Masyarakat

Kasus Said Didu juga mengungkapkan pentingnya ruang publik untuk menyuarakan kritik terhadap kebijakan publik, terutama melalui media sosial.

Dukungan masyarakat yang mengalir melalui tagar #SaveSaidDidu mencerminkan bagaimana media sosial menjadi arena baru untuk perlawanan sosial.

Hal ini sejalan dengan analisis Manuel Castells dalam Communication Power, yang menyatakan bahwa media sosial memungkinkan masyarakat untuk mengorganisir perlawanan terhadap ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak mereka.

Kasus Said Didu ini menyoroti berbagai masalah hukum, mulai dari hak atas properti, kebebasan berpendapat, hingga penyalahgunaan wewenang dalam kebijakan publik.

Dalam konteks hukum, proyek PIK 2 dapat dipandang sebagai contoh bagaimana kebijakan pembangunan besar yang tidak transparan dan tidak adil dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.

Oleh karena itu, penting bagi negara untuk memastikan bahwa setiap kebijakan pembangunan memperhatikan keadilan sosial dan hak-hak dasar warga, sesuai dengan prinsip hukum internasional dan nasional.

Sumber: 

  1. Locke, John. Two Treatises of Government. 1689.
  2. Cohen, Stanley. Folk Devils and Moral Panics: The Creation of the Mods and Rockers. MacGibbon & Kee, 1972.
  3. Castells, Manuel. Communication Power. Oxford University Press, 2009.
  4. Rawls, John. *A Theory of Justice*. Harvard University Press, 1971.