Polda Metro Jaya baru-baru ini menguak skandal judi online yang melibatkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Mereka yang seharusnya bertugas memblokir situs judi online justru terlibat dalam perlindungan ribuan situs terlarang.
Skandal ini bukan sekadar soal pelanggaran hukum, melainkan mencerminkan persoalan serius dalam teknologi pemblokiran dan integritas digital yang goyah.
Di balik setiap teknologi, ada manusia yang mengontrolnya. Dan ketika manusia gagal menjaga moral, teknologi yang netral sekalipun dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi.
Teknologi Pemblokiran Situs: Senjata Ganda
Teknologi pemblokiran situs seharusnya berfungsi sebagai penghalang kuat bagi konten-konten terlarang di dunia digital.
Berdasarkan konsep “firewall,” teknologi ini dapat memfilter situs dengan algoritma yang memantau dan menutup akses pada situs-situs tertentu (Garfinkel & Spafford, 1996).
Namun, pada kasus Komdigi, kontrol penuh diberikan pada satu individu, AK.
Di sinilah terjadi masalah mendasar: ketika teknologi yang kuat berada di tangan yang salah, keamanan digital masyarakat dapat dengan mudah terancam.
Dalam studi literatur, Dwork dan Naor (1993) menyebutkan bahwa firewall atau teknologi pemblokiran sebenarnya didesain untuk mematuhi aturan yang ketat.
Teknologi ini idealnya beroperasi tanpa bias manusia, yang berarti keputusan pemblokiran seharusnya dijalankan murni melalui data dan algoritma.
Sayangnya, di Komdigi, pemblokiran ini tidak hanya berbasis data.
Ada faktor-faktor lain: uang dan kepentingan pribadi.
Dampak Keamanan Digital pada Skandal Judi Online
Pada era digital ini, keamanan internet bukan hanya soal melindungi dari konten negatif, tetapi juga menjaga integritas sistem digital dari dalam.
Saat pegawai Komdigi melindungi situs judi online yang membayar mereka, mereka tidak hanya melanggar aturan, tetapi juga merusak keamanan nasional dalam konteks siber.
Keamanan digital yang terintegrasi membutuhkan kontrol yang sistematis dan transparan.
Dalam konsep teknologi informasi, ini dikenal dengan istilah zero-trust yang berarti “tidak ada yang sepenuhnya dipercayai tanpa verifikasi” (Kindervag, 2010).
Di sisi lain, skandal ini menunjukkan lemahnya verifikasi internal Komdigi.
Meski AK gagal dalam seleksi kementerian, dia tetap diberi kendali penuh.
Di sinilah konsep zero-trust yang diajukan Kindervag seharusnya diterapkan.
Pada dasarnya, semua akses dalam teknologi pemblokiran harus melewati lapisan verifikasi berulang, sehingga kemungkinan penyalahgunaan dapat ditekan.
Tanpa prinsip ini, celah yang dimanfaatkan AK menjadi terlalu mudah untuk disusupi.
Keterlibatan Teknologi Komunikasi dalam Kejahatan Digital
Dalam kasus Komdigi, jaringan komunikasi yang digunakan untuk mengatur pemblokiran, seperti Telegram, menjadi alat efektif bagi pelaku.
Telegram memungkinkan pengiriman informasi secara cepat, yang dapat dirahasiakan atau bahkan dienkripsi.
Menurut Durov (2021), pendiri Telegram, platform ini memang dibuat untuk komunikasi privat.
Namun, keleluasaan ini justru sering disalahgunakan oleh kelompok tertentu untuk mengatur aksi ilegal.
Sebagai contoh, AJ mengirimkan daftar situs judi ke AK melalui Telegram, dan komunikasi ini sulit terpantau oleh pihak berwenang.
Platform seperti Telegram menunjukkan bagaimana teknologi komunikasi yang seharusnya mempermudah informasi justru kadang membantu penyalahgunaan.
Di sinilah pentingnya pengawasan teknologi komunikasi, terutama di institusi yang bekerja dengan data-data digital.
Skandal ini mengingatkan bahwa teknologi komunikasi tanpa kontrol justru dapat memfasilitasi kejahatan.
Pembelajaran dari Skandal: Teknologi dan Kebijakan Pengawasan
Sebagai respons atas skandal ini, Kemkomdigi bergerak cepat menonaktifkan pegawai yang terlibat.
Langkah ini tepat, namun lebih dalam lagi, diperlukan audit dan peningkatan transparansi dalam penggunaan teknologi pemblokiran.
Dalam konsep pengawasan teknologi, dikenal istilah audit trail, yaitu mekanisme untuk melacak setiap perubahan atau akses dalam sistem (Hu et al., 2011).
Dengan audit trail yang kuat, akses AK dan pegawai lain terhadap daftar situs judi bisa terpantau.
Setiap perubahan pada daftar situs pun harus memiliki jejak audit yang jelas.
Selain itu, audit sistem dan SDM juga perlu dilakukan secara berkala.
Hal ini tidak hanya sekadar menjaga keamanan, tetapi juga untuk memastikan bahwa sistem tetap bersih dari potensi manipulasi.
Menurut konsep tata kelola teknologi, pentingnya audit internal terletak pada kemampuannya untuk mendeteksi celah yang mungkin dimanfaatkan oleh oknum.
Jika diterapkan secara konsisten, audit ini dapat mencegah terulangnya skandal seperti di Komdigi.
Sumber:
- Durov, P. (2021). Telegram platform. Telegram.
- Dwork, C., & Naor, M. (1993). Pricing via Processing or Combatting Junk Mail. Proceedings of Crypto.
- Garfinkel, S., & Spafford, G. (1996). Practical Unix & Internet Security. O’Reilly Media.
- Hu, Q., Xu, Z., Dinev, T., & Ling, H. (2011). Does deterrence work in reducing information security policy abuse by employees? Communications of the ACM, 54(6), 54–60.
- Kindervag, J. (2010). Building a Zero Trust Network. Forrester Research, Inc.
More Stories
Solidaritas Dunia Muslim dalam Pidato Prabowo di KTT D-8
Transformasi PPN: Teknologi untuk Efisiensi dan Transparansi
Pindar, Simbol Keamanan atau Citra Kosong dalam Fintech Lending?